📒1 - Poker Face

17.1K 833 96
                                    

Ketika hidup tidak berpihak padamu, maka topeng demi topeng terus menyelimuti diri tanpa pernah menjadi diri sendiri.

🌾🌾🌾

Sekolah belum begitu ramai saat aku menjejakkan kaki di depan gerbang SMA Cambridge. Senyum miringku terukir. Daguku terangkat tinggi-tinggi ketika melewati lorong utama sekolah. Tak ada yang boleh menindas, bahkan mengintimidasiku. Seorang Amanda Mahendra harus selalu menjadi yang teratas dan sempurna.

Mereka semua menatapku. Entah tatapan kagum, mempesona atau takut. Sudah biasa aku memasang topeng seperti ini. Aslinya pagi ini aku sedang badmood parah. Apalagi kalau bukan karena mama yang setiap pagi selalu memberikan wejangan sok bijak ala-ala motivator.

Aku tak pernah percaya dengan kata-kata motivator. Motivator hanya bisa berkata menurut opini dan versi idealnya. Motivator tidak pernah melakukan apa yang dikatakannya.

Ah, aku benci orang-orang yang hanya pintar bermain kata saja. Sepertinya semesta tidak mendukung aku dan mama untuk akur. Sekeras apapun usaha papa menyatukan kami, tetap saja tubuhku merespon negatif dengan kehadirannya.

Tanpa sadar, kakiku sudah sampai di sebuah ruangan yang ingin kutuju pertama kali untuk pagi yang menyuntukkan ini. Menarik napas perlahan, bibir manisku berkedut miring sebelum memasuki ruangan tersebut.

"Gue keluar dari eskul ini."

Pernyataan yang baru saja keluar dari bibirku sukses membuat seluruh mata tertuju padaku. Kalau dihitung-hitung, sekarang ini sudah ke tujuh kalinya aku keluar dari sebuah eskul.

"Kesambet apaan lo?"

"Ada masalah apaan lagi lo?"

"Gue pengen keluar aja," sahutku cuek.

Kak Suha selaku pemimpin eskul musik mendekatiku lalu bertanya dengan nada rendah.

"Kenapa, Man? Coba kamu sebutin alasan kamu keluar."

"Karena gue pindah ke eskul lain," jawabku enteng.

"Lo nggak bisa sesuka aja di sini ya, Man. Kayaknya sekarang kelakuan lo makin menjadi-jadi. Entar nilai rapor lo mau diisi ekskul apa, hah?"

Aku menaikkan sebelah alisku saat kakak tingkat yang bernama Ciara menunjuk di depan mukaku. Biarlah suara melengking, asal jangan menunjuk di depan muka. Aku tak suka!

"Gue ngelakuin apa yang buat gue nyaman. GUE NGGAK SUKA KALAU DIA MASUK KE ESKUL INI!"

Aku menunjuk ke arah seorang cowok tanpa keraguan. Ciara tampak sedikit kaget karena aku menunjuk cowok yang disukainya. Cowok itu terlihat santai walaupun aku sudah emosi seperti ini. Segala kelakuannya memang selalu membuat emosiku tak terkendali. Namanya Almer Putra Milenio. Dan aku, adalah musuh nomor satunya.

"Ya apa salahnya sih, Man?" Kak Suha kembali bertanya dengan nada tertahan. Dia mengelus pundakku  pelan. Aku tahu, dia sedang berusaha tidak terpancing emosi.

"Salah, Kak. Gue nggak suka! Kalau udah nggak suka, lebih baik gue menjauh dan pergi."

Setelah berkata seperti itu, aku pergi meninggalkan ruang eskul musik. Eskul yang paling membuatku bertahan lebih lama dari eskul-eskul lain. Sebelum sang penganggu itu datang.

"Manda!"

Kak Suha mengejarku. Cowok yang merangkap kakak kelasku itu adalah anak teman papa di kantor yang ditugaskan untuk menjagaku di sekolah ini. Ini perintah langsung dari kakek Abran. Dan aku, tidak bisa menolaknya.

"Manda, kamu kenapa sih?"

"Gue nggak suka, Kak. Gue nggak suka kalau ada dia."

Kak Suha malah menarikku dan membawaku ke koridor yang sepi. Aku sudah berusaha melepaskan genggamannya, tetapi genggaman itu begitu kuat.

Introvert Secret [END]Where stories live. Discover now