Prolog

8.2K 652 23
                                    

Pulnois House, Inggris
Agustus, 1870

Bersembunyi di bawah salah satu meja saat pintu perpustakaan dibuka, Rosetta Lee menahan napasnya mati-matian. Ini gila! Rosetta sudah tidak tahan lagi. Cukup dua kali ia merasakannya. Nasihat berselubung cercaan itu membuatnya muak. Ia pemula dalam tata krama dan berdansa, tidak sepatutnya mereka memuntahkan lidah ke mukanya.

“Rose!”

God! Rosetta memutar bola matanya sebelum keluar dari persembunyiannya. Tangannya terangkat ke telinganya—berusaha tidak mendengarkan ocehan Lea, pelayan pribadinya.

“Berapa kali harus kubilang, kau tidak boleh melakukan hal ini. Lihat.” Lea berlutut untuk menepuk-nepuk ujung rok gaun biru lautnya.

“Ini tidak kotor sama sekali, Lea.” Rosetta menarik gaunnya dan menjauh.

Lea menghela napas. “Kau harus menghentikan kebiasaan bersembunyi seperti ini, Rose. Sebaiknya kau kembali ke ruang latihan dansa, Mr. Tim sudah menunggumu hampir satu jam.”

Rosetta mengibaskan tangannya dan berdecak. “Sepertinya kali ini aku harus menginjak kakinya lebih keras lagi agar dia jera.”

Lea terkejut. “Rose.” Mengejar Rosetta yang berlarian di koridor. “Kau tidak boleh melakukannya. Rose.”

“Tubuh seorang lady itu seringan kapas. Omong kosong. Bila aku seringan kapas tidak mungkin rumpun tulip yang tidak sengaja kududuki hancur.” Rosetta mengepalkan tinjunya sementara Lea menahan senyum gelinya. “Pria bodoh itu sedang menghinaku karena aku tidak bisa berperikelakuan seperti seorang lady.”

Louis yang sedang menggenggam beberapa dokumen di ruang kerjanya mengangkat matanya yang berlapis kaca mata baca saat terdengar derap sepatu yang berlari menyusuri koridor. Ia meletakkan dokumennya lalu melepaskan kaca matanya, memijat dahi lalu lehernya. Siang yang sama di mana istrinya berulah. Ini sulit, keluhnya sambil beranjak dari duduknya.

“Kau atasi semuanya dulu, James,” ujarnya pada seorang pria paruh baya yang sedari tadi duduk di meja dekat jendela, sedang memeriksa beberapa dokumen manor sebelum diberikannya pada Louis.

Mr. James mengangguk singkat lalu kembali larut dalam tugasnya, membiarkan tuannya untuk kesekian kalinya direpotkan oleh istrinya yang pembangkang dalam menghadapi pelajaran-pelajaran yang diikuti oleh wanita itu.

Menutup pintu, Louis melihat punggung Lea yang berlari kecil mengejar Rosetta sebelum mengambil langkah panjang demi mengejar keduanya. Mendahului Lea yang lantas berhenti melihatnya dan menarik lengan istrinya.

“Oh.” Air muka Rosetta bertambah suram melihat Louis. “Tampaknya dokumen Your Grace sudah berkurang.” Nada sinis itu tidak dapat disembunyikannya.

Louis hanya tersenyum miring menanggapi sindiran istrinya sebelum mendorong pintu ruang dansa, menyeret istrinya yang berwajah masam tapi tak berniat kabur darinya.

Mr. Tim yang sedang duduk menikmati tehnya, spontan berdiri melihat kehadiran Louis dan Rosetta. “Your Grace, selamat datang.” Senyumnya lebar sampai ke telinga, membuat Rosetta ingin melepas sepatunya lalu memukulkan ujung haknya ke kepala pria itu.

“Bagaimana perkembangan isteriku?”

“Her Grace sangat berbakat—“

“Omong kosong!” Teriakan Rosetta seakan sanggup memecahkan kaca-kaca jendela.

Wajah Mr. Tim memucat. Louis melirik Rosetta.

“Kau hanya bermulut manis dengan suamiku! Kenapa tidak kau katakan saja bahwa aku sama sekali tidak berbakat, berotak dangkal, dan berkelakuan barbar!”

Wow! Wajah Mr. Tim kian pucat. Pria itu menunduk-nunduk hormat. “Maafkan saya, Your Grace. Saya sama sekali tidak pernah mengatakannya. Your Grace salah paham.”

“Sudah cukup! Jangan panggil aku dengan gelar itu! Memuakkan! Sekarang jelaskan apa maksudmu dengan tubuh seorang lady harus seringan kapas? Kau terus mengatakannya setiap kali aku menginjak kakimu. Secara tidak langsung kau mengatakan tindakanku ini barbar!”

Mr. Tim tampak ingin menangis. Ia tidak menduga bahwa Rosetta mampu menciptakan pemahaman yang sangat unik. Padahal itu hanya sebagai ungkapan. Seorang wanita tidak boleh menginjak kaki rekan dansanya karena itu bukanlah tindakan yang sopan. Seorang lady diibaratkan seringan kapas karena setiap gerakannya yang selalu anggun.

“Rose, kurasa kau memang salah paham dengan Tim.”

Rosetta menatap Louis tak percaya. “Kau membela dia,” suaranya seperti tercekat. “Oh, tentu saja.” Ia mendengus keras.

Lea yang berada di bingkai pintu memijat kepalanya, senyum gelinya sudah sirna karena Rosetta sudah menunjukkan tanda-tanda akan meledak. Sang duke benar-benar tidak belajar dari pengalaman.

“Rose, itu hanya ungkapan.”

Mendadak Lea ingin sekali menutup mulut sang duke seandainya ia tidak mengingat status rendahnya yang hanya seorang pelayan. Tuannya ini memang tidak bisa membaca situasi atau memang berniat memancing amarah istrinya. Kepala Lea benar-benar pusing.

Menatap Louis sengit, Rosetta sudah bersiap dengan amarah di ujung mulutnya. “Aku tahu itu hanya ungkapan dan aku tidak menyukainya karena aku bukan seorang lady! Aku benci semua ini! Aku muak!”

Dengan sangat menyebalkan, Louis hanya menatap Rosetta yang napasnya naik turun dengan wajah memerah.

“Kau sengaja menyewa pria payah ini untuk menyiksaku dengan semua hal gila ini, bukan! Breng*ek!”

Jangan tanya seberapa kagetnya Mr. Tim mendengar umpatan dan hinaan yang dilemparkan ke wajahnya. Lea ingin menangis. Rosetta berhasil menghancurkan reputasinya dengan lidahnya sendiri. Seandainya sang ratu berada di dalam ruangan ini maka Rose benar-benar sudah kehilangan mukanya. Tampaknya semua masalah ini berawal dari kepolosan sang duke.

“Rose, tenanglah.”

Rosetta mendorong Louis sekuat tenaga. “Kau selalu memintaku untuk tenang! Aku sudah lelah dengan semua ini! Mana buktinya! Kau berjanji kita akan secepatnya terlepas dari semua ini! Tapi kita malah terjebak di tempat ini! Kau bahkan sebentar lagi akan dinobatkan sebagai PRINCE OF WALES! Apanya yang lepas dari statusmu! Breng*ek!” Ia berlari ke luar setelah menumpahkan isi hatinya yang sudah ditahannya selama sebulan ini.

Louis mengepalkan tinjunya saat ke luar ruangan untuk mengejar Rosetta. Sementara Lea, Mr. Tim dan Jhon sang pemain piano, hanya mampu terdiam dengan air muka kaku. Ini bentuk emosi Rosetta yang paling mengejutkan mereka. Selama ini Rosetta memang selalu emosi, tapi itu hanya sekedar amarah berkekuatan rendah—menggerutu dalam tingkat kesopanan yang masih bisa dimaklumi, dan tentu saja tanpa umpatan.

“Rose, apa kau lupa dengan janjimu? Bukankah kau sendiri yang mengatakan akan selalu mendukungku dan tetap berada di sampingku dalam keadaan apapun—tak perduli sepelik apapun itu, kau tidak akan pernah meninggalkanku.”

Rosetta berhenti. Pria itu hanya menambah emosinya dengan mengingatkannya dengan kata-katanya dulu. “Aku memang pernah mengatakannya, Your Grace. Tapi perlu kau ketahui, aku mengatakannya tanpa tahu kebenerannya. Kalau aku tahu kau memanfaatkanku, pernikahan dan rasa ini tidak akan pernah terjadi bahkan dalam mimpi sekalipun. Saya permisi, Your Grace.”

Louis terdiam, tidak mengejar Rosetta, bahkan saat wanita itu ke luar dari kamar dengan membawa koper dan naik ke kereta kuda, ia tetap tak bergeming. Terus berdiri di koridor dalam keheningan.

Berakhirkah? Itulah pertanyaan yang melingkupi kepalanya.

***

Oke. Ini Moon nulis apaan yah?
Hm...
Pokoknya selamat membaca. Semoga suka dan jangan lupa berikan dukungan kalian berupa Voment sebagai bentuk apresiasi kalian terhadap tulisan ini.
Makasih banyak^^

The Prince's Wife [On-Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang