Dongeng 4 : Apa Yang Ada di Hati Karan

4.8K 660 73
                                    

Bulan Oktober semakin menuju ujung. Tidak ada yang bisa Karan lakukan selain mencoba terus bertahan di rumah Arjuna sebagaimana permintaan ayahnya menjelang kematian dulu.

"Karan, pergilah ke rumah itu. Hiduplah bersama mereka, jangan hidup sendirian di sini, Nak."

Permintaan dan perintah itu selalu berputar di kepala Karan. Datang lagi dan terus datang lagi. Seperti pada saat ini, ia sedang dalam perjalanan menuju sekolah barunya bersama Zakki dan Ragil ... dan juga bersama, Kalin.

Zakki duduk di depan, di samping Kalin, sementara ia duduk di belakang bersama Ragil. Tidak ada satu pun suara terdengar di antara mereka. Ragil—sejak kejadian Zakki berulah di kamarnya beberapa hari yang lalu—berubah ketus kepada Karan. Kalin juga semakin menjadi-jadi cueknya. Karan sampai merasa dadanya selalu sesak setiap kali mendapati ibunya murung saat ada dirinya.

Mobil mereka berhenti di depan gerbang sekolah bersama mobil milik orang tua siswa lain yang sedang mengantar putra-putri mereka. Kalin ikut turun. Dia menciumi Zakki dengan membabi buta, membuat Zakki tertawa geli tanpa protes. Begitu juga dengan Ragil, walau untuk putranya yang satu itu, satu ciuman nakal di kening saja cukup. Soalnya, Ragil suka risih kalau diperlakukan seperti anak manja di depan umum.

Karan tertegun di tempatnya. Ia sedikit merasa ... ingin.

Ingin dibelai juga oleh Kalin, diciumi juga, didoakan juga. Tapi ....

"Karan, awas jangan berulah! Jaga tingkah kamu, sekali aja kamu bertingkah, saya nggak akan segan nyuruh kamu berhenti sekolah dan pulang ke Wonosobo." Kalin menggertak.

Ya, Karan paham. Ia mengangguk sambil memainkan dan menggigiti bibirnya tanpa sadar. Kebiasaan ....

Setelah itu Kalin pergi. Ragil sudah masuk ke dalam, tidak berniat sedikit pun memandu Karan ke ruang kepala sekolah. Beda dengan Zakki, dia masih berdiri di belakang Karan ketika diam-diam dia mendengar Karan berkata, "Hati-hati di jalan, Bu ...."

"Ckckck ...." Zakki tertawa sinis, membuat Karan tertegun dan berbalik, tak percaya bahwa masih ada Zakki di belakangnya. "Lo manggil mama apa tadi? Ibu? Ibu dari mana? Ngarep aja lo."

Karan bergeming. Raut wajah dinginnya terpampang seperti biasa.

"Tahu nggak mama bilang apa sama gue kemarin malam? Nih dengerin baik-baik ya, Karan, katanya sebenernya lo tuh bukan anak mama. Lo bukan darah daging mama makanya dia nggak bisa sayang sama lo, Ran."

Hati Karan memanas, kepalanya mendadak pening seketika. Ia bahkan merasa persendiannya luruh begitu saja. Apa kata Zakki tadi?

Karan kira ibunya hanya sebatas tidak menyukainya. Tapi kenapa, haruskah ibunya menolak kenyataan bahwa dia adalah putranya?

"Kaget, ya? Haha."

Zakki menyeringai mendapati Karan memucat di tempatnya. Pemuda itu berjalan. Sementara Karan mengangkat tangannya, menyentuh dadanya yang bergemuruh tidak karuan. Tidak lama kemudian, wajahnya terangkat menatap langit bulan Oktober yang muram. Bibir merah meronanya bergetar ketika ia memanggil nama ayahnya yang sudah tiada. "Ayah, Zakki itu bohong, kan? Apa yang diomongin sama Zakki itu nggak bener kan, Yah?"

***

"Perkenalkan nama saya Nayaka Randhira Satryoga. Panggilnya Karan aja. Pindahan dari Wonosobo. Dieng tepatnya. Salam kenal."

Karan tersenyum sopan di depan teman-teman barunya. Beberapa murid perempuan sibuk berbisik-bisik. Memuja ketampanan Karan yang tak main-main. Tapi bisikan itu membuat murid lelaki mendesah sebal. Ketampanan Karan dinilai menjadi ancaman tersendiri bagi harta berharga mereka yang dinamakan eksistensi.

LOST TALESWhere stories live. Discover now