Dongeng 6 : Semiskin Itulah Aku

4.8K 720 52
                                    

"Kak!"

Tanpa permisi, tanpa aba-aba, Ragil tiba-tiba masuk ke dalam kamar Karan begitu saja. Ia sedikit heran begitu mendapati rak buku yang dulu roboh kini sudah berdiri kokoh seperti sedia kala.

"Lagi mandi apa ya?" Ragil beralih ke arah kamar mandi di ujung lorong rumah lalu menempelkan telinga ke pintu. Kepalanya mengangguk-angguk ketika ia mendengar suara gemericik air dari dalam. "Kak Karan lagi mandi, aku nunggu dia sambil tiduran aja deh."

Ragil kembali ke kamar, bergerak ke arah ranjang, dan menjatuhkan diri di sana. Matanya berkeliling memindai seluruh sudut kamar itu. Ia baru sadar, bahwa kamar yang tadinya dikhususkan buat tamu itu berwarna serba putih. Ia bergidik, sedikit ngeri dibuatnya. Melihat kamar Karan rasanya membuat bulu kuduknya berdiri. Entah oleh sebab apa, rasanya Karan selalu menebar atmosfer misterius di segala hal yang berkaitan dengannya.

Tidak lama kemudian, Karan muncul bertelanjang dada. Ragil hampir saja berteriak kalau saja dia tidak ingat bahwa sosok yang baru saja muncul itu Karan, bukan hantu atau vampire yang suka ada di televisi.

"Apa lihat-lihat?" Karan memakai kaosnya lalu duduk di meja belajar tanpa memedulikan Ragil yang masih saja memerhatikannya.

"Bener kata temen-temen, Kak. Kakak kayak Edward Cullen-nya Jakarta. Kulitnya Kakak putih kebangetam. Mukanya Kak Karan juga pucet, mana tatapan matanya dingin gila. Kakak ngerasa nggak sih kalau Kakak tuh ngelihatin orang kayak drakula yang lagi haus darah?"

Karan mendengkus mendengarnya, sementara Ragil bergerak mendekat lalu menangkup wajah Karan begitu saja. "Ih, Ragil ngapain sih?"

Karan bergerak melepaskan diri tapi gagal karena Ragil menangkup pipinya terlalu erat. Herannya, mata bulat Ragil seakan tidak peduli dengan raut kesal dari wajah Karan. Begitu juga dengan telinganya, ia seakan tuli dengan jeritan protes dari mulut Karan yang memaki-maki perbuatannya.

"Kak Karan pasti jarang banget keluar rumah, ya? Ckckc, anak ayah ini mah pasti."

Karan berdecak lalu menghempas tubuh Ragil untuk menjauh darinya. "Ngomong apaan coba?"

Jemari lentik panjang-panjang Karan mengelus wajahnya sendiri, ia merasa seperti baru saja dinodai oleh tingkah jail Ragil. "Isssh, pipiku dipegang-pegang kamu jadi gatal gini, Gil!"

"Coba aku tebak. Ayahnya Kak Karan pasti manjain Kakak banget ya. Apa-apa pasti harus di dalam rumah. Kakak pasti dilarang kalau mau pergi ke mana-mana. Nggak boleh kepanasan. Iya nggak?"

"Ragil, jangan sok tahu! Ngarang aja kerjaannya."

"Itu." Telunjuk Ragil mengarah ke wajah Karan lagi, lalu berputar-putar seolah ia sedang menandai setiap jengkal tubuh Karan dengan seksama. "Kulitnya Kakak tuh terlalu putih. Menurut aku ada tiga kemungkinan faktor yang bikin Kakak jadi kayak gini."

"Apaan coba?" Karan menantang sambil menjauhi Ragil, ia tidak mau Ragil lagi-lagi mendekatinya dan membuatnya salah tingkah sekaligus kesakitan seperti tadi.

"Pertama, Kakak sakit. Kakak sakit parah. Kak Zakki aja dulu nggak segitunya kok pas masih sakit."

Karan mendengkus lagi, ia membiarkan Ragil berjalan mondar-mandir di depannya sambil menatap ke awang-awang. Seolah sedang berpikir keras untuk sebuah analisa dan asumsinya sendiri.

"Kedua, faktor keturunan. Orang tua Kak Karan pasti punya kulit yang sama kayak Kakak, karena kulit mama putih bersinar dan sedikit merah jambu, berarti ayah Kak Karan yang punya kulit sepucat mayat juga. Iya kan?"

Karan diam saja. Hanya saja jantungnya sudah berpacu dengan cepat, merasa kesal dengan Ragil yang tiba-tiba menjadi sok dekat sampai-sampai dia berani mengatakan hal yang tidak-tidak tentang hidupnya.

LOST TALESWhere stories live. Discover now