🌸 Bab II

258 27 0
                                    

"Bukan radikal. Tapi ini adalah sunnah."

***

"Terus lo lolos gitu aja?"

"Alhamdulillah-nya sih gitu."

"Gila kali itu cowok, ya. Gak punya otak apa?" Sepotong brownies hangat kembali memasuki mulutnya. "Waktu gitu gak lo tampol aja sekalian sih. Kalau gue mah, dah bonyok itu muka," sambungnya lagi.

"Gak baik, Nis. Biarin aja, nanti juga dia capek sendiri."

"Astaga Adiba." Nisa menepuk jidat lebarnya. "Lo itu terlalu baik! Cowok kek Fairuz itu bagusnya dikasih pelajaran biar kapok!"

Bahu Adiba diangkat, mengisyaratkan dia tidak terlalu peduli. Akan jauh lebih baik jika diam dan menghindar saja. Daripada melakukan tindakan kasar yang ujungnya bakal ke mana-mana. Gak habis pikir, bisa-bisanya dia bertemu dengan laki-laki itu di taman belakang kampus. Padahal Adiba yakin banget jika Fairuz masih ada di pintu keluar koridor utama saat itu.

Masa iya bisa secepat itu pindah tempat?

Gak mungkin kan dia muter dari luar buat sampai di pintu masuk belakang?

Aish. Kenapa juga Adiba harus memikirkannya. Yang terpenting saat ini dia bisa bebas dari laki-laki itu. Terserah mau datang dari mana Fairuz, Adiba tidak mau peduli.

Setelah kejadian seminggu lalu, dirinya yang bukan siapa sekarang menjadi apa-apa. Kehidupan kampusnya yang tenang, damai, aman, sentosa mendadak berubah seperti topan. Setiap melangkah ada saja beberapa mata yang melihatnya sinis. Beberala mulut yang berkecap samar, akan tetapi cukup menusuk relung hati. Mendapatkan kertas berisi tulisan tangan di lokernya dan masih banyak lagi yang lain.

Lebay? iya. Diba kira kejadian seperti ini hanya terjadi di sinetron-sinetron saja. Nyatanya, pembullyan secara halus juga ada di dunia nyatanya saat ini. Tidak terlalu terusik, dia mengabaikan semua yang dia terima.

Kalau saja Fairuz tidak memejamkan mata, dia tidak mungkin bisa lolos dengan mudah. Dan jika Adiba berputar balik ke koridor utama. Gadis itu yakin, Fairuz akan ikut mwngejar, menghadangnya lagi seperti kala itu.

Tanpa sadar embusan kepasrahan lolos dari mulut merah jambu tanpa gincu itu.

Kenapa dia harus bertemu dan menolong Fairuz saat itu, sih.

***

Sajadahnya dilipat, lantas turun dari musola menemui sobatnya di ruang tengah. Melangkah memasuki ruangan, kepala Iqbal menggeleng ketika menemukan pemandangan yang hampir menjadi kebiasaan tiap harinya. Orang yang tadi bernada nyaring, bersikeras ingin mendapatkan bidadari seperti Adiba tengah berteriak-teriak keseruan memainkan game mobil balap bersama Mama Iqbal.

Ini anak pengen dapetin Adiba tapi kelakuan macem begini.

"Maa ... Ruuz ...." Mereka yang dipanggil tidak menanggapi. Masih berselisih dan beradu kecepatan mobil balap masing-masing.

Percuma rasanya memanggil dua manusia di sana. Iqbal berjalan ke arah benda kotak besar yang mereka tatap lalu mematikannya. Membuat keduanya berhenti berseru, dan beralih menatap Iqbal intens.

"Kok dimatiin sih, Bal? Mama padahal dikit lagi menang, lho," keluh Maryam, Mama Iqbal.

Fairuz pun ikut mencibir. "Tau tuh anak tante. Gak tau orang lagi asik."

LDR: Lamar Dulu ke Rumah!Where stories live. Discover now