🌸 Bab XIII

76 8 0
                                    

Sudah sebulan! Bahkan hampir lebih dari sebulan! Kenapa cowok itu selalu datang dan mengganggu di waktu liburan seperti ini? Gara-gara bertemu disaat dirinya sedang menikmati kesenangan bersama Adiba, mereka berdua malah datang dan membuat kacau. Dua orang yang awalnya bagai dua kutub sejenis, sekarang malah seolah sahabatnya itu menerima keberadaan Fairuz! Kesal!

Dan sekarang ke mana-mana mereka selalu berjalan berempat! Bukan karena Annisa memiliki kelainan. Hanya saja rasa cemburu ketika waktunya dengan Adiba yang biasa dihabiskan berdua harus diganggu makhluk seperti Fairuz. Cowok yang gadis itu kenal sebagai anak yang sama sekali tidak cocok dengan sahabatnya.

"Assalamualaikum." Salam ketiga yang diucapkan, tapi tidak ada sama sekali tanggapan dari dalam rumah.

Ke mana lagi? Mungkinkah Fairuz menculiknya dari Annisa lagi? Berdengus kesal, gadis itu berbalik dan berjalan menuju pintu masuk pondok pesantren. Salah satu santri berpapasan dengan Annisa membuatnya reflek menoleh dan memberhentikan laki-laki yang sepertinya lebih muda dua tahun darinya. "Maaf, permisi. Boleh tanya sesuatu?"

Yang dipanggil agak gugup namun tetap berbalik. "I-iya, mbak?"

"May tanya Adiba sama keluarganya sepertinya gak ada di rumah ya, dik?" katanya sok tua.

"Ooh," Furqon berseru panjang. "Mbak Adiba, ustad, sama ustazah masih ke rumah saudara di bandung, mbak. In syaa Allah pulang lusa."

Seruan panjang mengakhiri kekhawatiran berlebihannya. Setelah mengucapkan terima kasih, Annisa lanjut berjalan. Tapi langkahnya kembali dihentikan ketika cowok berjaket hoodie dengan celana jins masuk ke wilayah pondok pesantren Adiba.

Berjalan mantap, bahkan tak ada ragu sama sekali. Dia melewati Annisa yang sudah kembang kempis hidungnya ingin memberikan salam di wajah Faiuz berupa cap lima jari. Laki-laki itu lalu bertanya lagi pada Furqon, seolah sudah akrab dan biasa dengan santri-santri yang ada di sini.

"Mbak Adibanya udah berangkat, mas."

"Yah, berarti gue telat dateng," keluhnya sambil berkacak pinggang.

Orang yang menonton dari kajauhan tersenyum miring. Dalam hatinya bersorak kemenangan melihat Fairuz tidak bisa menemui Adiba. Meski dirinya juga sama saja tidak bisa bersama temannya itu semarang ini.

"Hmm. Ya udah, Qon. Gue balik dulu deh."

Dia bahkan mengetahui nama santri tersebut. Sekarang Annisa berganti terkejut. Sudah sedekat apa cowok ini dengan orang-orang di runah Adiba? Padahal baru juga seminggu dia tidak bertemu dengan perempuan itu! Ada apa diantara mereka?

"Iya, mas. Eh, tapi ustad titip sesuatu sama mas Fairuz."

Mas Fairuz? Bahkan si 'Qon' ini memanggil Fairuz dengan namanya tanpa sungkan sama sekali!

Al-Qur'an yang dibawa santri itu dibuka, sebuah tilawati jilid satu diberikan pada laki-laki di hadapannya. "Ustad kasih pesan sama saya buat ngasih ini sama mas Fairuz. Tapi ini bakal beliau ajarkan setelah mas benar-benar bisa melafalkan huruf hijaiyah dengan benar."

Tangannya menerima benda yang disodorkan. Sambil menggaruk tengkuknya, "Makasih, Qon. Tapi gue agak susah lafalin zha, kha, sama ha'. Lo bisa bantuin gue gak? Sore entar gue ke sini, oke?"

Furqon mengiyakan permintaan Fairuz. "Boleh, mas. Sekalian salat berjamaan di sini."

"Uoke, sip. Nanti gue dateng lagi. Makasih ya, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, mas. Hati-hati di jalan."

"Siap!"

Ini benar-benar aneh. Annisa tak habis pikir jika orang di depan sana sudah sangat dekat bahkan dengan abi Adiba dan santri di sini. Apa yang dia lewatkan? Apa?

Tanpa dirasa tangan Annisa menangkap lengan Fairuz yang akan melewatinya dan menyeret cowok itu ke luar dari area pondok pesantren. Tanaganya cukup besar untuk membanting seseorang saat ini dan sepertinya Fairuz merupakan objek yang sangat cocok untuk itu.

"Apaan sih lo?" tepisnya begitu sampai di luar.

"Gue yang harusnya tanya! Lo ngapain di rumah Adiba?"

"Ngapain?" beonya sembari mengangkat sebelah alis. "Ketemu calon mertua, lah. Mau nganter mereka ke Bandung."

Menggeram kesal, Annisa mengepalkan dua tangannya, meluapkan kekesalan. "Lo tuh! Bisa gak sih gak ganggu Adiba?"

"Ganggu?"

"Iya! Ganggu dengan bilang kalau dia calob istri, calon suami dan omong kosong lo yang lain! Adiba gak pantes sama sekali sama cowok macem lo!" cerocosnya tanpa jeda. Tidak peduli lawan bicaranya akan sakit hati atau tidak. Annisa terus berkomentar. Jika laki-laki itu sakit hati malah lebih bagus lagi untuknya.

Sementara Fairuz hanya tersenyum kecil. "Wow, wow. Sabar dulu, mbak." ucapnya. Dua tangannya seperti didorong ke arah depan. Lalu satu tangan beralih mengusap dada. "Sabar, mbak, sabar. Gue tau maksud lo kok," katanya santai.

Namun, sayang sekali emosi Annisa tak pernah reda jika harus berhadapan dengan orang ini. Matanya dipicingkan. "Apaan? Lo tau maskud gue tapi gak pergi dari sisi sahabat gue!"

Mendengar pernyataan Annisa, Fairuz menyisir rambutnya menggunakan jari. "Gini, gue tau lo gak suka gue deket-deket Adiba. Tapi woi mbak, sadar. Gue cowok dan Adiba cewek. Kita manusia, suatu hari nanti pasti bakal nikah. Kalau lo khawatir dan gak suka ngeliat gue deket-deket Adiba. Oke, gak masalah. Lagian abinya juga udah ngelarang buat ketemu anaknya lagi."

Dan keterangan yang Fairuz jelaskan barusan, membikin dahi perempuan itu mengernyit bingung. "Om ngelarang lo? Ketemu Adiba? Tapi kok lo masih sering ke sini?"

Selaras dengan pertanyaan itu, tawa dari cowok di depannya menyembur ke luar. "Gue kemari itu buat ketemu abinya dia. Ada urusan penting."

"Urusan penting?" Annisa bergumam.

Melihat arloji hitam yang melingkari pergelangannya, Fairuz beranjak akan pergi. Bundanya pulang hari ini, dia harus menjemput beliau jika tak mau kena omel saat tiba di rumah. "Ya, udah kalau dah selesai. Gue cabut," pamitnya. "Assalamualaikum." Kemudian berlalu pergi.

Namun, tidak sampai tiga langkah dia berhenti melangkah. Menoleh ke arah belakang lagi. "Satu lagi ya. Lo jadi cewek jangan terlalu ganas. Bisa-bisa kagak ada yang demen sama lo. Jadi perawan tua deh soalnya cowok pada kabur liat lo yang gini terus."

Dua jari telunjuknya diletakkan masing-masing di sudut-sudut mata. Lalu ditarik hingga hanya berbentuk garis aneh membuat wajahnya terlihat aneh. Fairuz tertawa puas lalu berjalan santai menjauhi tempat di mana gadis seumurannya memberemgut kesal, mengepalkan tangan yang sudah siap untuk dilayangkan pada wajah sok imut cowok itu.

Andai saja! Andai saja dia tadi memukulnya, tidak mungkin dia masih merasa sekesal ini sekarang. Cecunguk itu memang harus diberi pelajaran sesekali supaya tak melonjak tingkah lakunya.

"Dasar cecunguk kurang ajarrr!" teriaknya hingga menggema. Annisa tak peduli jika harus dilihat oleh masyarakat dan dianggap aneh! Emosinya sudah sampai di ubun-ubun!

Yang dia ketahui saat ini. Keadaan Adiba baik-baik saja karena Om Rifai sudah menyingkirkan Adiba dari gangguan Fairuz. Tapi ... yang tadi itu apa? Kalau abinya benar melarang cowok itu berdekatan dengan putrinya. Lantas kenapa abi Adiba terlihat sangat akrab dengan Fairuz dengan menitipkan tilawati pada salah aatu santri? Bahkan beberapa santri di pondok pesantren juga.

Ada rahasia yang harus Annisa ketahui! Sesuatu yang belum Adiba beritahukan padanya!

LDR: Lamar Dulu ke Rumah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang