6. He's Back!

2.7K 138 0
                                    

Malam itu, setelah berbicara dengan Shinta, aku merasa agak depresi. Kumatikan HP, lalu memilih tidur sepanjang hari. Arya dan Salsa sudah kembali ke rumah, langsung disambut si Bibi dengan info singkat, "jangan bangunin Bunda dulu ya, lagi ngga enak badan sepertinya."

Selanjutnya hidup terus berjalan. Aku memutuskan tidak lagi terlalu memikirkan Fahri. Kuharap dia dan Anna sudah baik-baik saja bersama keluarga besar mereka di Jatinegara. Aku hanya mengirim pesan ke HP Fahri.

[Gue udah tau dari Shinta]

[Sedih...]

[Hope you'll be okay soon]

[Kabarin ya kalo udah bisa ngabarin]

[Gue kangen]

Hari berganti minggu, berganti bulan, tak kunjung ada balasan darinya. Tapi aku tau pesanku sudah dibaca. Kuanggap dia butuh waktu lama untuk menyembuhkan lukanya.

Tapi rasanya tak adil. Saat aku yang mengalami itu, Fahri selalu ada di dekatku, secara fisik maupun sekedar ngobrol di telpon. Aku juga punya Grup Para Sahabat yang selalu bersedia menjadi wadah curhatku. Sumber tawa bahagiaku di masa sulit.

Sepertinya lelaki dan perempuan berbeda cara menghadapi masalah ya.. Wanita cenderung bicara dengan teman-teman dekatnya. Mencari dukungan. Tidak ingin merasa sendirian. Sementara lelaki memilih "masuk goa", menjauh dari dunia luar, bersedih sendirian. Tak ingin berbagi duka.

Tapi ini Fahri. Sahabatku yang tak sungkan bercerita apapun, bahkan menangis di tengah cerita sedihnya. Mengapa saat merasa hancur, dia malah menjauh dariku? Tidakkah aku dianggap layak menjadi tempat berkisah? Mengingat itu saja membuat mataku kembali membasah.

---

HP berdenting, tanda ada pesan masuk.

[Rei, aku putus sama Kevin] Diny.

[Lha, kok?] Kaget bacanya.

[Tauk tuh tiba-tiba dia ngilang, ngga ada kabar, sekalinya telpon, mutusin!]

[Turut berduka ya, Din.. Kamu butuh teman ngomong? Ketemuan after office yuk?]

[Ayo. Kafe Menteng?]

[Okey.. See you]

Sorenya aku menunggu Diny sambil menyantap chicken wing pedas khas Kafe itu. Tak lama dia muncul.... Tak sendirian. Adam bersamanya.

Kurapikan pakaian dan kerudungku, melirik secepat kilat ke kaca, lipstik tidak belepotan. Okesip. Kupasang senyum termanis. Berharap senyumanku menular. Iya, menular ke Diny. Tapi tak mempan di Adam. Dia tetap Adam yang biasa.

"Hey, Din..." kukecup pipi kiri kanannya. Diny memelukku.

Adam bergeming di belakangnya. Menatap kami seolah dia bosan.

"Hey, Adam..." kutepuk sekilas lengannya. Dia tersenyum tipis.

"Adam ngga dicium juga, Rei?", kelakar Diny.

Adam melengos.

Aku terkesiap. "Hah?".

Aku mencoba membalas candaanya, "Bahayalah, ntar dia naksir gue, gimana?". Hahaha..

Diny nyengir sambil melirik Adam yang sekarang duduk di sebelahnya. Yang dilirik sedang konsen menatap lembaran menu di hadapannya.

Diny tertawa, lalu melepas jepit rambutnya. Santai. Sekarang gelung rambutnya terlepas, menampakkan rambut hitam ikal sebahu yang luar biasa keren. Diny cantik sekali. Dia melepas blazer kerjanya, sekarang dia mengenakan dress selutut berwarna pink lembut yang elegan.

KISAH WANITA BIASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang