1. Satu Bukti

19.3K 2.4K 114
                                    


"Qulu Nafsin Zaikotul Maut."

Kalimat itu masih terbayang di kepala Maryam. Kematian Marwah begitu mendadak dan membuat gadis 22 tahun itu masih tak percaya bahwa adik kembarnya meninggal karena bunuh diri.

Kepulan asap di cangkir kopinya sudah berlalu sejak tadi, namun tangannya masih enggan untuk mengangkat cangkir dan meminumnya. Dia hanya berputar-putar dengan sendok dan terus mengaduk kopi itu dengan pikiran yang bergelayut.

Marwah nggak mungkin bunuh diri!
Marwah nggak mungkin menjatuhkan diri ke neraka!

Masih tergambar jelas ingatan Maryam tentang Marwah beberapa tahun silam. Ketika itu Maryam sangat terpuruk karena perceraian kedua orangtuanya. Setiap malam Maryam pasti menangis dan merasa tak sanggup lagi untuk hidup dengan status anak broken home.

Keegoisan ayah dan ibunya membuat Maryam sangat membenci keadaan itu. Di tambah lagi, kegagalan Maryam masuk sekolah yang sama dengan Marwah membuat Maryam jauh lebih terpuruk lagi.

Saat itu, Maryam berpikiran untuk mengakhiri hidup. Namun, Marwah datang melapangkan tangan dan memeluk Maryam, kemudian membisikkan kalimat yang membuat Maryam berubah pikiran.

"Kematian kita sudah terencana di Lauhul Mahfudz, kita tidak boleh mendahului takdir yang telah digariskan oleh Allah. Allah sudah menyiapkan waktu, tempat dan sebab kematian kita. Bunuh diri itu termasuk dosa yang tak dapat di ampuni, Allah bakalan murka karena kita tidak bisa mensyukuri hidup yang Allah beri. Tempatnya kita saat Allah murka, tak lain dan pastinya yakni Neraka jahanam."

Bisikan itu seolah menolak kenyataan bahwa Marwah telah mengakhiri hiupnya, bagaimana mungkin seseorang dengan taat beribadah, pecinta Al-Qur'an, dan ilmu agamanya tinggi seperti Marwah mau menyeret dirinya untuk menjadi bahan bakar api neraka?

Nggak masuk akal!

Maryam terus menolak kenyataan. Maryam benar-benar tidak terima dengan kematian Marwah yang tak wajar, menurutnya.

"Boleh saya duduk di sini?" Suara berat seorang laki-laki terdengar dari samping kanannya. Pikiran Maryam langsung buyar saat mendapat laki-laki jangkung dengan kaos polos putih berdiri di sampingnya.

Laki-laki itu langsung mendaratkan tubuhnya di bangku seberang Maryam, padahal Maryam belum mengatakan apapun.

Maryam acuh. Dia tidak mau peduli siapa yang sedang duduk dihadapannya itu.

"Kopinya udah dingin, mau aku pesankan lagi?" Tawar laki-laki dengan kumis tipis itu.

"Nggak usah, gue lebih suka kopi yang dingin." Jawab datar Maryam.

Beberapa detik mereka berkutat dengan keheningan. Suasana cafe yang sepi menambah suasana menjadi semakin kurang nyaman bagi Maryam. Dia pengin segera pulang ke kost, merebahkan tubuhnya untuk sebentar setelah seharian penuh hanya duduk dan berjalan tanpa tujuan.

Maryam menyesap kopinya yang dingin itu sedikit, kemudian mengangkat tubuhnya untuk beranjak.

"Ternyata benar kata mereka," ujar laki-laki itu menghentikan gerakan Maryam untuk beranjak dari kursi.

Maryam melihat wajah tegas dengan kantung mata menghitam laki-laki itu dengan perasaan heran. "Maksudnya?" Maryam tidak jadi beranjak, tubuhnya kini jatuh lagi di atas kursi.

"Mereka bilang ada seorang gadis yang mirip dengan Marwah, duduk di cafe ini sejak jam 4 sore sampai jam 10 malam, dia hanya mengaduk kopinya dan meminumnya ketika sudah dingin, " kata laki-laki itu, "Ternyata itu benar." Imbuhnya.

Mata Maryam langsung menajam, "Lo kenal Marwah?"

Laki-laki itu menegakkan tubuhnya yang semula hanya bersandar di sanggahan kursi. "Kenal...," Dia menjeda kalimatnya, "Banget."

MaryamWhere stories live. Discover now