Usapan Kepala

111 20 2
                                    

Bogor.
Desember, 2016.

Aku baru saja kembali dari ruang guru setelah menerima sertifikat jambore di Sumedang. Hari ini aku duduk di barisan kiri paling belakang. Tempat yang paling aku benci karena berada di pojok banget, sama sekali tidak ada sinyal.

"Eh Kancut, perasaan gue liat lo mulu di warkop." Aku menengok, ternyata itu Udin. Oh... no... kini semua anak nakal di kelasku yang di sebut gangster mengerubungi mejaku.

"Rumah lu di situ bukan, Cut? Dimananya?" Tanya Erlangga padaku.

"Sia mawa motor nya?" Penting banget sih Dino nanya begituan. Rumahku dekat, banget malah sama sekolah, ngapain aku harus bawa motor coba.

"Enggak, lah," jawabku sewot.

"Ngerokok ya lu?"

"Enggak lah gila." Aku menimpuk kepala Udin dengan buku tulisku. Duh, aku jadi risih. Ini tuh lagi ada tugas matematika, kenapa sih harus banget mereka gangguinnya sekarang. Mana ngasih tuduhan nggak jelas.

Lebih baik aku menghindari mereka. Aku berdiri lalu memilih pergi ke meja Fildzah yang berada di pojok kanan. Setidaknya aku aman di sini.

"Ih, lo ngapain ngikutin gue sih?"

Ternyata tidak aman.

"Masih penasaran kita, Cut," jawab Maulana.

"Lo ngerokok kan diem-diem di warkop? Wah gila si Kancut."

"Ih enggak..."  Sebenarnya seberapa kali aku mengelak mereka tetap saja tidak percaya.

"NGAPAIN SIH GANGGUIN KANZA? UDAH SANA LO SEMUA KERJAIN KEK TUGASNYA."

Oh, Fildzah, you're my guardian.

Aku tersenyum meledek ke mereka semua yang langsung pergi ketika Fildzah mulai bereaksi. "Dzah, makasih banget."

"Selow, Cut."

Memang hanya Fildzah yang berhasil membuat siapa pun langsung pergi kalau sudah mendengar gadis itu mengamuk. Aku mulai mengerjakan tugasku yang di bantu Fildzah, sesekali aku melirik ke mejaku, aku jadi merasa bersalah ke Fisya, karena cewek itu aku tinggal sendirian, ah salah dia juga yang tidak mengikutiku.

"KANCUT, TOLONGIN."

Pasti deh, pasti tuh anak lagi berantem sama gangster.

Ketika aku menengok ke mejaku lagi, justru Erlangga yang menengok ke arahku. Melihat tatapannya mendadak aku jadi ciut dan lanjut mengerjakan tugasku. Maafkan aku Fisyaaaaaa.

Setelah mengerjakan tugasnya aku harus menunggu beberapa menit agar anak laki-laki di mejaku pada pergi. Ketika aku sudah memastikan tidak ada yang ke mejaku lagi, aku baru kesana dengan berani.

Semoga Fisya tidak marah karena saat ini dia memicingkan matanya padaku.

"Lo bukannya bantuin gue. Sakit anjir gue di cubitin mereka."

"Nih tugasnya udah." Aku memberikan buku matematiku. "Lagian lo bukannya ngikut gue, malah diem di situ."

Fisya sibuk menyalin tugasku. "Takut gue, merekanya serem."

Aku tertawa. Memastikan tidak ada barangku yang di ambil mereka. Aku pun memakan makananku lagi, berhubung tidak ada guru juga dan tugasku pun sudah selesai.

"Oh iya, buku lo diambil tuh sama Angga."

"Hah? Yang mana? Ada semua kok."

"Itu yang warna merah, duh nggak tau deh. Diambil pokoknya."

One Year Full Of MemoriesWhere stories live. Discover now