Chapter 46

2.5K 528 30
                                    

"Kalau begitu, haruskah kita ...." Ms. Connely membiarkan kalimatnya mengambang. Apa pun yang ingin dia katakan, ibuku sudah tahu apa itu, sebab ibuku menggeleng.

"Dia akan membenciku kalau tahu aku melakukannya. Lagi pula, aku belum berhasil menemukan Alex." Aku mengerutkan kening. Alex? Ini pertama kali aku mendengar nama itu. Siapa dia? Kenapa ibuku mencarinya?

"Ini sudah sembilan tahun, Dakota." Suara Ms. Connely terdengar tak sabaran. "Kau pikir dia masih hidup?"

"Selama aku belum melihat jenazahnya dengan mata kepalaku sendiri, aku akan terus mencarinya." Suara ibuku terdengar penuh tekad. Orang bernama Alex itu pasti seseorang yang penting.

"Lantas? Apa yang akan kau katakan pada Alice seandainya kau menemukan Alex?"

Kepala ibuku tertunduk. Hening sejenak sebelum dia menjawab, "Aku ... tidak tahu."

"Mungkin sebaiknya kau memberi tahu Alice sekarang. Dia sudah besar. Aku yakin dia akan mengerti kenapa kau melakukannya." Keningku berkerut semakin dalam. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan?

Ibuku menghela napas panjang. "Bagaimana caraku mengatakannya? Bahwa dia punya saudara kembar yang sudah menghilang selama sembilan tahun?"

Kata-kata ibuku menghantamku bagai petir di siang bolong. Apa aku tak salah dengar? Dia bilang ... saudara kembar? Hanya Alice yang kumiliki dan aku tak ingin kehilangan dia juga. Mungkinkah waktu itu pun dia bukan membicarakan soal kehilangan ayahku, tapi saudaraku? Aku kehilangan keseimbangan dan terduduk, tanpa sengaja menyenggol salah satu pot tanaman berukuran kecil di sampingku. Pot itu terjatuh dan pecah, menimbulkan suara gaduh.

"Siapa di sana?" seru Ms. Connely. Perlahan aku bangkit. Wanita itu memandangku dengan sebelah alis terangkat sementara di sebelahnya ibuku tampak terkejut. "Alice? Sedang apa kau di sini?"

Aku mengabaikan pertanyaan Ms. Connely dan menatap ibuku tak percaya. "Mom serius? Aku punya saudara kembar? Mom bercanda, kan?" Aku melontarkan tawa yang dipaksakan, berharap ibuku akan mengatakan sesuatu seperti 'April Mop' atau sebagainya, tapi raut wajahnya tak berubah. "Tidak mungkin," bisikku dengan napas tertahan. Jantungku mulai berdebar kencang akibat amarah.

Ibuku berderap ke arahku dengan panik. "Alice, aku bisa menjelaskan semuanya."

"Tidak, tidak, jangan mendekat, Mom. Bicaralah dari sana." Aku melangkah mundur dengan tergesa-gesa. Entah kenapa aku tak ingin berada dekat dengannya, seolah dengan menjaga jarak akan membantu emosiku lebih terkendali. "Kenapa Mom menyembunyikannya dariku? Aku tak mengerti apa alasannya."

"Itu ...." Ibuku kehilangan kata-kata.

Aku mengernyit, tahu kalau pada akhirnya dia akan beralasan bahwa dia melakukannya untuk kepentinganku, dan itu bukanlah alasan yang masuk akal bagiku. "Jangan bilang itu untuk kebaikanku--aku tak mau mendengar omong kosong seperti itu."

Keputusasaan menyelimuti wajah ibuku. "Aku tidak dapat menjelaskannya sekarang. Nanti, oke? Aku akan menceritakan semuanya nanti."

'Nanti' adalah penggunaan kata yang tidak tepat. Apa ibuku benar-benar berpikir kalau aku tidak tahu maksud di balik kata 'nanti' itu? Dia tak berniat memberitahuku--itu sudah jelas--padahal saat ini aku menginginkan penjelasan, bukan janji yang aku tahu tak bakal ditepati sampai kapan pun. Amarahku pun meledak. "Nanti kapan, Mom? KAPAN?!" Tanpa kusadari, suaraku meninggi beberapa oktaf.

"Alice, jaga cara bicaramu," sergah Ms. Connely tajam. "Dia ibumu."

Di tengah-tengah pikiranku yang sedang kacau bagaikan benang kusut, suara Peter memasuki telingaku. "Alice, tenangkan dirimu." Sial. Dari tadi pasti mereka bertiga dapat mendengar semua yang terjadi. Aku hendak mematikan earphone-ku, tapi Peter mencegahku. "Jangan matikan earphone-mu. Lebih baik kau turun. Kami sudah selesai di sini."

OLIVER'S PUZZLE [COMPLETED]Where stories live. Discover now