Bab 4. 04

562 131 12
                                    


Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, satu bulan. Waktu terus bergulir tanpa kita sadari, masa tak ingin menetap walau ia mau, asa yang menjadi angan mulai terwujud meski terasa mustahil. Tapi kenapa takdir sangat senang mempermainkan setiap pelakon duniawi, melambungkan harapan lalu menghempasnya tanpa welas asih.

Jika Ajeng bisa, ia ingin mengelu, tapi apa haknya. Dia hanya karakter yang sedang menjalankan peran, tak peduli seperti apa kesulitan ini, dia harus menjalaninya dengan baik.

Obat kemoterapi itu mulai menghancurkan sel kanker yang ada dalam tubuhnya, berikut setiap syaraf dan tubuhnya sendiri. Rasanya, sangat sakit.

"Ajeng."

Dengan perlahan gadis itu membuka matanya. Dia tersenyum tipis saat Vanessa datang sambil membawa sekeranjang buah, Yudha mengikuti jalannya di belakang.

"Hai, gimana kabar kamu hari ini?" Vanessa duduk di samping ranjangnya setelah meletakkan keranjang buahnya di meja.

"Baik. Gue ngerasa lebih sehat hari ini."

"Itu bagus. Semoga semakin baik ya."

"Iya, makasih Vanes. Kalian dateng bareng?"

"Oh, nggak. Tadi ketemu di parkiran. Oh ya, maaf aku baru bisa jenguk kamu."

"Nggak papa, gue ngerti kok. Gimana pengobatan di singapur, lo ada perkembangan?"

Dia masih Ajeng yang Vanessa kenal, peduli pada orang lain padahal keadaanya jauh lebih memprihatinkan. Terakhir kali Vanessa bertemu dengan Ajeng, sahabatnya itu tidak sekurus ini, dan rambut panjang sepinggan yang Ajeng sayangi, telah berubah menjadi rambut potongan super pendek. "Aku udah lebih baik. Dan kamu juga harus gitu."

"Syukurlah. Gue nggak tahu, tapi akan gue coba." Ajeng lagi-lagi tersenyum tipis. Entah kenapa dia terlihat kelelahan.

"Lo udah minum obat?" usapan di kepalanya membuat Ajeng mengalihkan pandangannya pada Yudha, gadis itu menggeleng pelan. "Minum obat sekarang?"

"Iya."

Yudha menyiapkan beberapa butir obat dengan warna-warna mencolok, tanpa sadar mulai hafal obat apa saja yang harus Ajeng minum, miris bercampur sinis. Yudha benci harus menyiapkan obat Ajeng, entah harus sampai kapan dia terus meminum berbutir-butir obat sialan ini.

"Ini." setelah membantu Ajeng bersandar pada kepala ranjang, Yudha menyerahkan piring kecil berisi obat dan segelas air putih.

Tangan Ajeng bergetar halus setiap mengambil satu demi satu butir obat, menelannya dengan perasaan mual yang harus ditahannya.

"Sekarang mendingan lo tidur. Lo keliatan capek." Yudha menaikkan selimut Ajeng hingga batas perut setelah gadis itu kembali berbaring.

"Tapi kan," Ajeng melirik Vanessa, tak enak hati harus meninggalkan Vanessa untuk pergi tidur. Ini pertemuan pertama mereka setelah satu bulan tak bertemu.

"Nggak papa, Jeng. Aku juga harus pulang, aku belum pulang ke rumah sejak sampai indonesia. kamu istirahat ya, besok aku ke sini lagi."

"Oh kalau gitu, hati-hati ya."

"Iya. Aku pulang ya, dadah."

Ajeng membalas lambaian tangan Vanessa hingga ia tak terlihat lagi. Padahal Ajeng merindukan sahabatnya itu, tapi Yudha juga benar, ia lelah hari ini dan butuh istirahat extra.

"Sekarang tidur, gue harus keluar sebentar. Om sama Tante bakal dateng bentar lagi."

"Iya."

Yudha menunggu hingga Ajeng memejamkan matanya. Setelah memastikan jika Ajeng mulai tertidur, Yudha melangkah keluar dengan langkah tanpa suara. Vanessa menunggunya di luar kamar, sama seperti pesannya tadi.

"Sorry lama."

"Nggak papa. Kamu mau ngomong apa, Yud?"

"Jangan di sini. Kita ke kantin rumah sakit aja."

"Ok."

Mereka berjalan beriringan menuju kantin rumah sakit, tanpa suara, hingga akhirnya mereka duduk berhadapan

"Jadi, apa yang mau kamu omongin?" Vanessa menumpukan kedua tangannya di meja.

Yudha tak bicara apapun, dia merogoh saku jaketnya mengambil sesuatu yang telah ia simpan lama. "Ini. gue udah mutusin mundur dari pertunangan kita." Yudha meletakkan cincin perak polos itu di atas meja, mendorongnya hingga menempati tengah meja.

Vanessa tersenyum, ia membuka tas kecilnya, mengambil benda bulat yang sama seperti milik Yudha. "Kalau gitu, aku udah nggak punya alasan buat nyimpen ini juga." Dia membuat cincinnya bergambung bersama cincin milik Yudha. "Harusnya kita lakuin ini sejak lama."

"Yah, harusnya. Tapi kadang keberanian itu muncul disaat yang kurang tepat. Iya kan."

"Aku malah mikir sebaliknya. Saat Ajeng butuh dukungan dari orang yang dia sayang, disaat itu juga kamu punya keberanian buat ngelawan papa kamu."

"Tapi tetep aja gue ngerasa semuanya udah terlambat."

"Terlambat atau nggak, itu tergantung cara kamu menyikapinya. Nggak ada yang terlambat di dunia ini untuk cinta. I think."

"Elo selalu berfikiran positif, nggak pernah berubah."

"Dan kamu selalu berfikiran negatif. Yudha, hal yang kamu anggap sebagai suatu keterlambatan pasti dianggap lain sama Ajeng. Mungkin dia menganggap itu adalah anugerah, jadi, jangan menyesal."

***

"Jadi apa yang kamu dapat?"

Leorinzo Darma, dia adalah laki-laki penuh ambisi. Terbiasa mendapatkan apa yang dia mau, membuatnya selalu merasa tidak cukup. Dan saat ambisinya nyaris berhasil ia dapatkan, namun harus pupus karenaulah anak kandungnya sendiri. Apa yang bisa ia lakukan selain memberinya pelajaran.

"Mas Yudha memiliki apartemen kecil di kawasan Bogor, pak. Selain itu, ternyata sudah sejak sembilan bulan yang lalu Mas Yudha memiliki usahanya sendiri, dia membangun sebuah restoran yang sekarang semakin berkembang pesat."

Anak itu sama sepertinya. Selalu berfikiran selangkah lebih maju. "Lalu gadis itu, ada sesuatu yang kamu dapat?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangnya dari dokumen yang ia tekuni.

"Namanya Rahayu Ajeng, dia anak Mario Winata."

Winata, nama itu yang membuat Leo mengalihkan pandangannya, memusatkan perhatiannya pada informan yang telah ia bayar.

"Katakan semua yang kamu dapat."

***

sorry part ini pendek, disimpen buat next part.

|| BOOK THREE : Yudjeng || Pasien No.25 (Complete)Where stories live. Discover now