3. Berarti

7.5K 324 1
                                    

Sepulang dari sekolah, Gia masih belum mau bercerita tentang apa yang ada dalam mimpinya, walaupun Laras sahabatnya selalu menanyakan dan penasaran pada mimpi yang dialaminya, bahkan mungkin selama berada di sekolah Laras sudah lebih dari sepuluh kali menanyakan hal yang sama. Ada rasa antara takut dan penasaran dengan apa yang ada dalam mimpi itu. Ia ingin menganggap mimpi itu hanya sebagai mimpi biasa saja, namun mana mungkin mimpi yang sama terus berulang-ulang tanpa memiliki makna apa-apa. Dalam hati, ia berharap hal itu bukanlah suatu pertanda bahaya.

"Gia..." Terdengar suara ibunya memanggil dari luar kamar seraya mengetuk pintu.

"Iya, Bu..." Tak berapa lama sang ibu pun masuk sebelum pintu kamar sempat dibukakan olehnya, "ada apa, Bu?"

"Loh, kok malah kamu yang nanya?" Gia menatap heran. Pertanyaannya justru dijawab kembali dengan sebuah pertanyaan dari sang ibu.

"Kamu kenapa?" Tanya sang ibu dengan tersenyum penuh kasih sayang. Ia tau bahwa anak semata wayangnya tengah memikirkan sesuatu atau sedang menghadapi masalah. Sang ibu memang selalu tau tentang perbedaan sikap yang ditunjukkan Gia.

"Aku nggak kenapa-kenapa, Bu." Gia tersenyum. Ia berusaha menutupi semuanya. Semua kegelisahan yang ia alami hanya karena sebuah mimpi yang mungkin tak memiliki arti. Bu Sari mencoba untuk mengerti, ia tak ingin memaksa hanya untuk mencari tau yang sebenarnya. Ia tau bahwa Gia seperti itu. Seorang pribadi yang tak mau menyusahkan kedua orang tua.

"Ya sudah, sekarang kamu makan siang dulu!" Bu Sari tak pernah memaksakan kehendaknya pada Gia. Ia tau dan percaya anaknya bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, walaupun kenyataanya yang akan Gia hadapi adalah sesuatu hal yang berada di luar nalarnya sendiri. Kejadian itu memang telah terkubur. Terkikis oleh waktu, namun tak sepenuhnya bisa hilang dalam ingatan.

****

"Tolong...jangan...aku gak mau ikut sama kamu....Ayah...Ibu..." Seseorang atau makhluk dengan bentuk yang entah seperti apa. Gia sama sekali tak melihat makhluk itu, hanya mata merahnya saja yang terlihat menyala dalam kegelapan. Makhluk itu telah menariknya secara paksa. Menyeretnya ke suatu tempat yang sangat gelap. Di sana, Gia mendengar sayup dan pilu jerit tangis seseorang, yang seperti tengah disiksa dengan siksaan yang begitu pedih, namun suara itu begitu jauh serta lirih.
Setitik cahaya terlihat olehnya ketika ia mengedarkan pandangannnya ke segala arah. tak perlu pikir panjang, Gia langsung berlari menghampiri cahaya tersebut, namun semakin jauh Gia berlari, cahaya itu seperti menghindarinya. Gia mulai putus asa, memejamkan mata lalu kemudian menangis tertunduk merasa tak berdaya. Setelah cukup lama menangis, perlahan mulai terasa dingin pada tengkuknya. Seperti hembusan angin yang begitu pelan namun menyejukkan. kedua telapak tangan yang sejak menangis tadi menutupi wajahnya perlahan ia turunkan hingga kemudian...

Gia menjerit dengan keringat membasahi sekujur tubuh disertai nafas yang terengah-engah. Diliriknya jam kecil yang berada di atas meja belajar, di samping tempat tidurnya. Waktu telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Waktu yang sama seperti malam-malam sebelumnya.

Gia bangun dari tempat tidur, kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air minum. Cairan tubuhnya terkuras, oleh keringat yang masih terlihat membekas. Beberapa kali bahkan menetes dari ujung dagunya.

Gia mengmbil napas lega. Suasana sekitar rumahnya masih terasa sunyi. Beberapa teguk air dalam gelas bisa membuatnya segar, namun setelah itu, tiba-tiba saja sesuatu yang dingin dirasakan oleh tengkuknya. Sontak, bulu kuduknya berdiri. Menahan rasa takut, Gia perlahan menoleh. Memberanikan diri melihat apa yang mungkin saat ini ada di belakangnya, dan ternyata tak ada apa-apa di sana. Gia menarik napas pertanda lega dan kembali melanjutkan menghabiskan sisa air minum dalam gelas yang masih digenggamnya.

"Aaaahhhhh...."

Sesuatu dengan aura gelap berdiri tepat di depannya. Tepat setelah Gia meminum air di gelas yang digenggamnya. Gelas itu telah jatuh, pecah berserakan di lantai. Gia menutup mata dan telinga. Tak sanggup melihat makhluk yang membuatnya takut luar biasa. Ayah beserta ibunya terbangun mendengar jeritan Gia.

"Kamu kenapa, nak?" Pak Badrun panik melihat anak semata wayangnya duduk bersimpuh seraya menundukkan wajah, dengan tangan menutup mata serta telinganya.

"Itu, Pak..." Gia menunjuk tepat ke arah didepannya yang saat ini tak terdapat apapun di sana. Bu Sari berusaha menenangkan Gia yang menangis, dengan memeluknya. Dengan cara ini, ia yakin akan membuat Gia merasa aman.

"Mana, Nak? Nggak ada apa-apa." Pak badrun heran, namun dia membatin "semoga bukan seperti apa yang saya fikirkan"

Perlahan Gia membuka mata dan memperhatikan sekelilingnya, dan benar apa yang dikatakan oleh sang ayah, di sana sudah tampak tak terlihat apa-apa. Makhluk yang ia lihat telah pergi, atau mungkin ia hanya berhalusinasi, namun baginya, semua tampak begitu nyata.

Hingga pagi menjelang, Gia sama sekali tak sanggup memejamkan matanya kembali. Rasa takut membuat kedua orangtuanya pun ikut terjaga bersamanya. Mereka khawatir terjadi sesuatu kepada anak semata wayangnya. Terlebih, mereka khawatir bahwa kejadian ini akan menguak tabir.

****

Hari ini, Gia bersikeras tetap masuk sekolah. Kejadian dini hari tadi tak membuatnya menyerah untuk menuntut ilmu seperti biasanya, namun keceriaannya terasa begitu meredup. Tak ada senyum keramahan yang biasanya selalu terpajang diwajah, bahkan sahabatnya pun merasakan perubahan besar dalam diri Gia pada hari ini.

"Gi, kamu kenapa?" Laras mendekati Gia yang sejak awal datang ke sekolah hari ini sudah seperti itu. Wajahnya selalu tertunduk lesu seperti tengah memikul beban yang sangat berat.

"Aku nggak apa-apa, Ras." Gia berusaha tersenyum pada sahabatnya, namun Laras bukan sahabat yang tak mengerti dengan kondisinya. Laras adalah sahabat terbaik Gia, ia tau semuanya tentang Gia, bahkan orang tuanya pun sudah kenal dekat dengannya.

"Gi, kalau kamu ada masalah, cerita aja, siapa tau aku bisa bantu."

Laras berusaha meyakinkan, bahwa ia bisa membantunya. Gia terdiam, tak menanggapi perkataan Laras, namun dalam hatinya ia bertanya-tanya, "apa sebaiknya aku cerita aja ke Laras? Tapi apa dia nanti nggak nganggep aku yang mengada-ada?" Pikirannya itu justru malah membuatnya bingung.

"Gi..." Laras menyadarkan Gia dari lamunannya.

"Eh...iya, Ras, aku nggak kenapa-kenapa, kok, aku cuma lagi nggak punya uang aja. Ayah sama ibu lagi nggak punya uang, jadi aku bingung." Gia berusaha tersenyum meyakinkan sahabatnya, tapi sahabatnya mengerti, bahwa saat ini Gia sedang berbohong padanya.

"Ya udah, yuk ke kantin, aku traktir!" Laras berusaha menghibur Gia. Sebenarnya Gia tak ingin merepotkan sahabatnya karena kebohongannya, tapi kalau saat ini ia menolak ajakan Laras, hal itu justru akan membuat sahabatnya itu marah.

Laras menarik tangan Gia yang sejak tadi terdiam tak menanggapi tawarannya.

"Ayo, malah ngelamun..." Akhirnya mereka pun pergi tanpa menyadari sepasang mata merah yang kini telah menatap Gia dari belakang ruang kelasnya. Makhluk dengan jubah yang sama ketika dini hari tadi ia mengunjunginya.

MATI SURI (Eps. 1)Where stories live. Discover now