17 | Rangga Dewantara VS Nicholas Saputra

160K 16.9K 3K
                                    

Biasanya Kinan hanya datang ke Jakarta sehari-dua hari, namun kali ini berbeda. Sudah seminggu Kinan menginap di rumah Rangga, dan hari ini Iris harus berhadapan lagi dengannya di meja makan keluarga Rangga.

Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya mereka makan bersama. Tapi entah kenapa, kali ini Iris terus merasa gelisah. Matanya terus mengekori gesture Rangga dan Kinan dengan perasaan was-was.

"Iris, kok tumben nggal dimakan sambalan atinya? Biasanya kamu paling semangat." Suara bunda membuyarkan lamunan cewek itu. Iris melirik ke arah piringnya, lalu tersenyum kecil.

"Enak kok Bunda, Iris cuma lagi agak nggak enak badan aja," katanya lirih, berusaha agar Rangga tidak mendengar kalimatanya.

Sejak hari dimana ia dan Ares bertengkar, Iris merasa tubuhnya kurang fit. Mungkin efek dietnya baru muncul. Iris merasa mudah lelah, sakit perut sampai mual.

Sebenarya, rencana dietnya sama sekali tidak berjalan mulus. Sesekali Iris harus menyuap setengah porsi nasi dan sepotong daging untuk meyakinkan Ares dan Rangga bahwa ia sudah tidak lagi berdiet.

Sebagai gantinya, Iris menambah jam olahraganya. Setiap sore Iris menambah jumlah putaran larinya. Tak ada batas maksimal. Ia hanya berlari hingga lututnya gemetar dan matanya berkunang-kunang.

"Kamu sakit, Ris? Mau bunda antar ke dokter?" tanya bunda tampak khawatir. Tapi Iris buru-buru menggelengkan kepalanya.

"Nggak usah, bunda, kayaknya cuma karena lagi kebanyakan tugas aja."

"Duh, sayang, tugas tuh jangan dipikirin, tuh lihat Rangga, udah kelas tiga aja kalo ditanya ujian kapan dia langsung bilang, 'Dimana aku, siapa aku, ujian itu apa?'," Bunda berdecak kesal. "Heran bunda, tuh anak nggak pernah serius hidupnya."

Pandangan Iris otomatis teralih pada Rangga yang sedang memeriksa isi kulkas. Rangga sedang dalam mode ngambek, karena Bunda memasak sayur bayam. Jadi, alih-alih ikut makan di meja makan, bayi besar itu justru mencari persediaan makanan lainnya.

Biasanya, kalau sudah begini mesti Rindu yang was-was. Stok es krim, kue dan camilannya bisa dijarah oleh adiknya.

"Berani lo sentuh persediaan gue, gue pastiin besok pagi alis lo botak ."

Kan, belum apa-apa sudah terdengar ancaman.

Rangga mencebikkan bibir, menatap Rindu penuh permusuhan. Tapi bukan Rangga namanya jika menuruti apa kata Rindu.

Belum tiga puluh detik Rindu mengancam Rangga, cowok itu sudah menyemburkan minuman dari mulutnya.

"Apaan, nih?!" jerit Rangga seraya menatap horor  ke gelas tinggi di tangannya.

Rindu menoleh, dan saat itu juga tawanya pecah. "Sukurin lo kualat! Itu kiranti gue!"

Kinan tertawa kecil, sementara Iris harus mengulum bibirnya rapat-rapat.

"Kalian tuh, kapan dewasanya," kata eyang sambil menggelengkan kepalanya.

"Makanya udah jangan banyak tingkah, makan sekarang ayo!" Bunda menarik telinga Rangga, memaksanya untuk duduk, di sebelah Iris, di hadapan Kinan.

"Nih, Ga, biar nggak ngambek," Kinan meletakan sepotong perkedel di piring Rangga, lalu tersenyum lembut. Rangga menerimanya tanpa banyak protes.

Jarak Iris dengan Rangga sebenarnya hanya beberapa jengkal, tapi entah kenapa tiba-tiba ia merasa ia dan Rangga kini berada begitu jauh.

"Piye filmmu, nduk? Lancar to?" [Gimana filmmu? Lancar?] tanya eyang pada Kinan setelah meneguk minumannya. Meski menjunjung tinggi nilai kesopanan, eyang tak pernah keberatan soal perbincangan di meja makan. Sebaliknya, justru beliaulah yang seringkali membuka percakapan.

Iris [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Место, где живут истории. Откройте их для себя