22 | Alasan Jatuh Cinta

166K 16.8K 2K
                                    

Akhirnya Iris harus merasakan efek dari diet ekstrim yang beberapa bulan ini ia jalani. Tak tanggung-tanggung, dokter Galan—dokter yang menanganinya— mengatakan bahwa Iris mengalami gastritis akut dan juga gejala tipes. Kebiasaannya menunda waktu makan, memforsir energinya, begadang semalaman sampai stress dianggap sebagai pemicu terbesarnya. Akibatnya, ia harus diopname sampai keadaannya membaik.

"Nah, Iris, nanti sore kalau hasil lab sudah keluar saya ke sini lagi, ya, kamu istirahat aja dulu. Jangan pikirin macam-macam, karena sebenarnya stress bisa memperparah peradangan lambung kamu, loh." Dokter Galan mengingatkan dengan nada bersahabat. Dari perawakannya, Iris menilai dokter tampan ini mungkin belum genap tiga puluh tahun. "Jangan lupa makannya juga dijaga, jangan makan yang macam-macam dulu, ya!"

Iris menganggukan kepalanya patuh. Dokter muda itu tersenyum, lalu berpamitan pada papa dan Ares yang menunggu di sofa. Setelah dokter Galan keluar barulah papa dan Ares mendekati bangkarnya.

"Aduh, anak papa, bikin papa jantungan aja, papa kira kamu kenapa, untung sekolah langsung bawa kamu ke rumah sakit ini." Papa mengusap kepala Iris lembut. Sedangkan Ares tampak sibuk, merapikan beberapa barang di dalam nakas.

"Maaf ya, pa," gumam Iris tak enak hati.

"Nggak apa-apa yang penting kamu cepat pulih."

Tadi, setelah ia pingsan di ruang teater, Iris memang langsung dilarikan ke rumah sakit Permata Harapan. Rumah sakit yang sama dengan tempat mamanya dirawat. Entah siapa yang menghubungi papa dan Ares, karena setelah ia mendapatkan seluruh kesadarannya, papa dan Ares sudah menatap wajahnya dengan raut khawatir di  bangkar UGD tadi.

"Pa, Ares ke rumah dulu ya, ambil bajunya Iris," kata Ares sambil menyandang ranselnya di sebelah bahu. Sebelum pergi cowok itu menyempatkan diri mengacak rambut saudaranya. "Cepet sembuh bocil."

"Papa tadi dari kantor?" tanya Iris selepas kepergian Ares. Cewek itu bangkit dari posisi tidurnya, agar lebih leluasa mengobrol dengan papa.

"Papa memang sudah jalan pulang, mau ke mama, eh tiba-tiba Rangga telepon, ngabarin kamu pingsan di sekolah."

"Rangga yang telepon papa?"

Papanya menganggukan kepala. "Iya, tadi dia di sini kok, sama Katya sama dua teman kamu lainnya, tapi kayaknya tadi mereka keluar dulu sebentar."

"Dua teman?" Iris mengerutkan dahinya bingung. Ia tak memiliki cukup banyak teman dekat yang bisa menyempatkan diri menjenguknya.

Namun, seolah menjawab pertanyaannya, pintu kamar tiba-tiba saja diketuk. Dari baliknya muncul sosok Rangga, bersama Katya, Arsen dan Lavina.

"Nah, itu dia anaknya!" papa Iris langsung bangkit melihat kedatangan teman-teman anaknya.

"Assalamuallaikum om," Rangga menyapa riang, lalu menyalimi tangan papanya, disusul oleh Katya, Lavina dan Arsen yang melakukan hal yang sama. Tanpa disuruh, Rangga berinisiatif untuk mengenalkan teman-teman Iris.

"Kenalin om, yang ini mah nggak usah lah ya, om udah tahu lah yang suka nyusahin Iris, Katya." Rangga menepuk pelan bahu Katya, yang dibalas cewek itu dengan delikan galak. Lalu ia mengalihkan tangannya pada Lavina dan Arsen. "Ini Lavina, nah, kalo yang nggak seganteng Rangga ini namanya Arsen, om!"

"Ih, enak aja!" Lavina sontak berseru. Namun langsung merapatkan bibirnya kembali, saat tersadar di depannya masih ada papa Iris. Papanya Iris hanya tertawa melihat kelakuan teman-teman anaknya.

"Nah, udah ada nak Rangga, papa ke kamar mama dulu ya?" Papa Iris mengelus puncak kepala anaknya penuh sayang, lantas beralih pada Rangga. "Rangga, om titip Iris ya?"

Iris [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Where stories live. Discover now