PART 13 - SUAMI-ABLE

8.7K 1.2K 121
                                    

“For me, love ain’t recognize a number of weight...” ~ Suami-able

oOo

Hari ini Bi Sumi izin tidak bekerja karena harus merawat anaknya yang sedang sakit panas dan perlu perhatian seorang ibu sepenuhnya. Kalau tidak salah, anaknya baru masuk SMP. (Namakamu) kurang tahu banyak. Yang pasti, untuk beberapa hari ke depan semua pekerjaan rumah akan (Namakamu) kerjakan sendiri tanpa bantuan Bi Sumi. Lagipula (Namakamu) bukan anak manja yang tidak tahu apa-apa tentang mengurus rumah. Jadi bukan masalah untuknya.

Satu hari ditinggal Bi Sumi izin pulang, (Namakamu) teringat kalau isi kulkas sudah nyaris habis. Beberapa hari yang lalu Bi Sumi juga bilang kalau beliau hendak membeli persediaan makanan namun tidak sempat karena bentrok harus pulang pergi mengurus anaknya yang sakit. Karena kasihan, akhirnya (Namakamu) memberi cuti kepada Bi Sumi bertepatan ketika wanita paruh baya itu hendak meminta izin pada (Namakamu).

(Namakamu) hanya bisa berharap semoga anaknya Bi Sumi cepat sembuh. Bukan karena dia ingin Bi Sumi cepat kembali. Dia hanya tidak tega kalau terus-terusan sakit. Mungkin kalau sempat, (Namakamu) mau menengok kesana diantar Iqbaal.

Tapi sebelum itu, dia ingin belanja.

“Baal, jadi ’kan?” Mungkin sudah hampir satu jam (Namakamu) menunggu di kantor Iqbaal. Menunggu suaminya itu selesai bekerja dan bisa mengantarnya pergi berbelanja. Tapi (Namakamu) tidak bosan sama sekali. Justru dia menikmati setiap detiknya memandangi Iqbaal yang begitu giat bekerja. Uh sayang..

“Hmm, habis ini ya. Kamu duduk manis aja disitu. Nggak bakal lama kok.” Kata Iqbaal dengan kacamata silindrisnya, gaya ala bos besar sedang membaca berkas di tangannya tanpa melihat ke arah (Namakamu) yang duduk di sofa tamu ruangannya. Ralat. Pria itu melirik ke arah (Namakamu) sebentar untuk melemparkan senyuman manisnya.

Tentu saja (Namakamu) menurut dan membalas senyuman itu. “Oke. Nanti makan dulu ya? Aku mau ayam geprek yang deket kantor kamu.”

“Kenapa nggak pesen sekarang aja hm? Biar di anter kesini?” Tawar Iqbaal sejenak mengalihkan pandangannya dari deretan tulisan pada kertas-kertas di tangannya.

“Boleh?” (Namakamu) menatap dengan wajah kekanakan. Polos sekali.

Iqbaal pun tertawa. “Sure. You’re starving, Babe. Bentar, aku suruh Diman kesini biar nanti dia yang beli kesana.” Katanya lalu meraih telepon kantor di sudut mejanya untuk menyuruh Diman datang ke ruangannya. “Ke ruangan saya ya sekarang. Terimakasih.”

“Nanti kalo Diman kesini kamu bilang aja mau pesen apa. Order as much as you want. Inget, jangan diet-diet! Aku nggak suka. Kamu gendut pun aku masih sayang. Yang penting kamu kenyang nggak kelaparan.” Kata Iqbaal yang sudah kembali membaca berkasnya lagi tanpa memandang (Namakamu). “For me, love ain’t recognize a number of weight. I’m sure you know ’bout it.”

Iqbaal sudah bilang ribuan kali pada (Namakamu) tentang ketidaksukaannya pada suatu hal yang bernama diet. Kebanyakan perempuan melakukan diet supaya badan mereka tetap langsing. Bahkan rela mengurangi asupan makanan atau malah tidak makan sama sekali supaya ukuran badan mereka tetap ramping. Menurut Iqbaal itu hanya menyiksa diri saja. Jadi kalau (Namakamu) diet, sama saja sedang menyiksa diri sendiri. Lantas buat apa Iqbaal bekerja siang dan malam kalau (Namakamu) suka menyiksa diri sendiri? Biar saja gendut. Toh kerja kerasnya tidak sia-sia karena bisa membuat (Namakamu) bahagia lahir, batin dan perut kenyang.

Karena itulah, (Namakamu) tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berjalan mendekati Iqbaal dan memeluk leher suaminya itu dari belakang.

“Sayang kamuu...” Mencium pipi kanan Iqbaal lalu cekikikan pelan. (Namakamu) gemas kenapa Iqbaal selalu bisa membuatnya istimewa setiap saat? Bahkan hanya lewat omelannya sekalipun.

I'm more.” Balas Iqbaal tersenyum dan kecupan singkat di pipi kanan (Namakamu).

oOo

Menjelang sore, (Namakamu) dan Iqbaal memasuki sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli kebutuhan mereka yang hampir habis. Ini bukan kali pertama (Namakamu) belanja berdua dengan Iqbaal. Dulu waktu awal-awal mereka menikah juga pernah belanja bersama. Iqbaal yang mendorong troli, (Namakamu) yang memilih barang apa saja yang mau mereka beli. Bagi-bagi tugas.

“Bi Sumi cuti kenapa, Babe?” Tanya Iqbaal ketika mereka berada di area sayur-mayur.

“Anaknya lagi sakit. Katanya kalo ditinggal berdua sama Bapaknya kasian. Orang sakit ’kan pengennya dimanja gitu. Apalagi yang sakit anaknya.” (Namakamu) menatap sayuran hijau di sekelilingnya. Lalu meraih seikat bayam dan selada yang diletakan bersebelahan. “Pasti nggak pengen jauh-jauh dari Ibunya. Gitu.”

Iqbaal yang kini berada di sebelah (Namakamu), mengangguk-anggukan kepalanya. “Hmm, alright. Aku ngerti.”

“Kamu ambilin bawang ya disana!” Suruh (Namakamu) menunjuk pada tempat tumpukan berbagai macam bawang. “Aku mau ambil telur dulu.”

“Semuanya?” Iqbaal bertanya.

“Iya, bawang merah, bawang putih sama bawang bombay. Secukupnya aja ngambilnya!” Kata (Namakamu) kalau-kalau Iqbaal malah membeli kebanyakan.

Okay. I’ll do.”

Keduanya pun berjalan berlawanan arah untuk melaksanakan tugas. Sebenarnya Iqbaal tidak tahu ukuran-membeli-bawang-secukupnya itu seperti apa. Bawang-bawang ini bisa dibilang ukurannya cukup kecil. Padahal mereka makan sehari bisa tiga kali. Pasti bawang yang diperlukan untuk memasak juga banyak ’kan?

Di tengah kebingungannya itu, Iqbaal menemukan bawang-bawang yang sudah di pack dengan ukuran yang pas. Tidak kebanyakan, tidak juga terlalu sedikit. Iqbaal mengambil bawang merah yang berada di bungkusan jaring berwarna merah yang terikat dan mengangkatnya. Mungkin ini yang dimaksud secukupnya. Hah! Membingungkan saja!

Pria itu pun memasukan pack berisi bawang tersebut ke dalam troli. Karena bawangnya ada tiga macam, jadi ada tiga pack yang Iqbaal ambil. Tugasnya selesai. Dan tak lama setelahnya, (Namakamu) kembali dengan membawa satu plastik besar berisi telur ayam.

“Udah ngambil bawangnya?” Tanya (Namakamu) sambil meletakan telur ke dalam troli dengan hati-hati.

“Tuh.” Tunjuk Iqbaal pada tumpukan bawang yang dikemas dalam jaring terikat berwarna merah.

Good job!” (Namakamu) mengacungkan jempolnya. “Kirain bakal kebanyakan belinya.”

Iqbaal tersenyum. Lalu dia membuntuti (Namakamu) yang kini berjalan ke area buah-buahan.

“Udah jadi suami-able belum?” Tanya Iqbaal tepat di sebelah (Namakamu).

“Mau tau jawabannya?” (Namakamu) melirik Iqbaal yang langsung menganggukan kepalanya antusias.

Penasaran rupanya.

“Bangettttt!!” Ujarnya di telinga Iqbaal lalu berjalan mendahului.

Iqbaal hanya terkekeh melihat tingkah istrinya itu. Malu-malu kucing tapi tidak jaim. Aneh.

***

Maunya gue ngetik panjang inituh. Tapi takut beresnya tengah malem cause daku pengen publish malem ini wkwkw

KOMEN BAWEL DONG! KANGEN NIH ACUUUU

16/07/18

My Perfect HappinessUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum