01 - Cuma Sendiri Pun Tak Masalah

323 24 30
                                    

Author's Note: Untuk yang mengikuti Trace, mungkin sudah pernah liat teaser-nya sesekali. Yup. Inilah cerita yang kusebut-sebut itu, The Golden Catalyst. Sudah tamat naskahnya, tinggal publish. Silakan kasih vote dan komen bila berkenan, suka, ingin mendukung author, atau kalau ada yang menurut kamu bisa diperbaiki lagi ya ^^ Btw, ini lebih pendek daripada Trace. Hehe.

******

Teman-temanku payah.

Orang-orang sering membicarakan soal persahabatan dan kerja tim, tapi bagaimana bisa mengandalkan teman tak berguna? Lihat saja. Aku sudah terhambat beberapa kali gara-gara menghabisi semua musuh yang ada, tapi mereka tetap tertinggal. Tolong jangan jadikan kaki prostetikku sebagai alasan. Motivasi mereka kalah kuat, yang sebenarnya cukup mengherankan. Siapa yang tidak kesal dan ingin secepatnya menghabisi alien-alien itu?

Sisa dua robot, mereka melayang jauh di depan. Lampu merah di dahi robot-robot itu berkedip. Seharusnya pencipta alat latihan ini menaruh program yang lebih mutakhir supaya sulit ditebak, dan—ya, ampun—copot lampu itu! Mudah dideteksi. Alien yang sesungguhnya pastilah lebih pintar.

Aku menjejak lantai sedikit lebih kuat. Itu sudah cukup untuk mendorong tubuh memelesat sejauh tiga meter dalam kecepatan tinggi. Angin di sini cukup menyejukkan sekaligus kencang. Ujung-ujung rambutku menggelitik telinga dan bisa saja menusuk mata seandainya aku tak pakai goggles. Tidak tahu goggles? Yah, anggap saja seperti kacamata renang, tapi ini untuk terbang, untuk menangkal debu.

Salah satu robot—dengan tubuh kotak, kepala bola, dan dua tangan bercapit—sudah berjarak kurang dari semeter. Heh! Seringaiku mengembang. Kutarik tangan kanan ke belakang. Sambil menghirup napas dalam-dalam, kulancarkan tinju.

Seranganku sukses memecah kepala mesin, menembusnya. Pecahan-pecahan logam berhamburan sebelum jatuh. Lampu merah yang tadinya tampak seperti satu mata di tengah dahinya padam. Bagian bawah bulatan lampu itu pecah. Seperti biasa, aku kecewa. Bunyi kepalan yang menembus mesin itu berkali-kali diulang pun tetap sama. Tidak seperti bunyi daging empuk yang robek ataupun tulang patah, deritnya persis engsel-engsel tanganku sendiri. Aku tak pernah nyaman mendengarnya. Alien asli pastilah memiliki teriakan lebih lucu dan bunyi tubuh rusak yang lebih alami. Ah, aku tidak sabar mendengar mereka.

Dengan sedikit entakan, tangan kutarik. Maksudku untuk melepaskan diri dari bangkai mesin yang sudah lemas. Eh, kepala robot itu malah copot dari tubuhnya dan menempel di kepalanku. Badannya jatuh.

"Greeeen!" teriak seorang cewek dari belakang.

Aku melirik. Si pemanggil berambut merah melompat hingga hampir mencapai langit-langit hitam setinggi tiga meter. Mungkin maksudnya untuk menambah gravitasi pada tekanan tendangan, tapi itu sangat tidak efektif.

Robot di sebelah kiri berdengung, tanda serangan. Aku bergeser ke samping tepat ketika dia menembakkan laser. Dia lambat. Kutarik kepala robot yang masih tertancap di tangan, kujatuhkan, lalu kutendang ke arah musuh.

Dua kepala mesin berbenturan. Robot yang kuserang oleng dan—secara kebetulan—membuat tendangan cewek tadi meleset (dan rupanya benar kalau dia ingin menendang!). *Isseki nicho ....

Segera aku meluncur mendekati robot yang oleng dan kutinju kepalanya sampai bolong. Begitu tangan kutarik, kepala mesin melepaskanku dengan lebih ikhlas. Mereka berkelontang jatuh ke lantai aluminium.

Oke, tolong berikan tepuk tangan dan sorak-sorainya karena aku mengalahkan sepuluh musuh ini sendirian!

"Hei!" cewek rambut merah itu berteriak kesal lagi sambil mendorong bahuku. Di dalam kamusku, cewek cempreng dan kasar itu termasuk karakteristik tak menarik, meski aku jarang memikirkan cewek. Rata-rata mereka pembuat masalah. "Kalau kita menghadapi Katalis sungguhan, kau sudah mengacaukan rencana dan semua anggota tim bisa mati!" kecamnya. Kan? Cerewet.

Aku mendengus. Menggelikan. Percuma sebenarnya meladeni orang-orang semacam ini, yang bisanya hanya menyalahkan orang lain atas ketidakbecusan sendiri, padahal apa yang bisa dilakukan manusia lemah selain mati?

Anggota tim lain juga berdatangan dengan wajah tertekuk. Sebagian baru saja mematikan perangkat-perangkat yang menempel pada tangan dan kaki, mengembalikannya ke bentuk semula: sebuah tas logam. Mereka mulai marah-marah dan menyumpah-serapah.

Aku menggeser goggles ke atas dan tersenyum. "Sudahlah, toh ini jadi nilai tim. Meskipun memang, ketidakbecusan kalian juga bisa jadi nilai minus."

Salah satu anggota cowok yang tak kuingat namanya mencengkeram kerah jaketku. "Kaupikir kau segitu hebatnya? Hah?"

"Bukan kupikir, tapi sudah kubuktikan."

"Nggggh ...."

Orang-orang lain melerai kami. Para mentor juga berdatangan untuk mencegah pertengkaran berkelanjutan. Di tengah-tengah itu semua, yang paling menarik adalah kekesalan jelas di wajah keempat teman setimku.

Tidak berdaya itu memang mengesalkan. Aku masih bayi ketika alien-alien itu mendatangi Bumi. Di umur sepuluh tahun, mereka merenggut rumah, Kakak, dan bagian-bagian tubuhku. Enam tahun belakangan ini, yang kudengar hanyalah berita kematian senior-senior dengan kesuksesan yang tidak sebanding.

Yang bisa kulakukan? Nihil. Aku hanya bisa berlatih, berlatih, berlatih, dan berlatih.

Kuharap mereka paham dan bisa berusaha sama kerasnya, menyusulku, meskipun aku tak keberatan juga kalau mereka tetap payah.

Aku akan menghabisi alien-alien—Katalis—keparat itu meski harus sendirian.

******

Footnote:

*Isseki Nicho: Peribahasa Jepang yang berarti satu batu dua burung. Sekali bertindak, mendapat hasil lebih dari satu. Seperti sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

The Golden Catalyst [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang