02 - Hei, Jangan Panggil Aku Idiot!

144 11 18
                                    

Author's Note: Supaya lebih cepet dapet opini, lebih cepet juga kalian bisa baca, lebih cepet juga ku-update. Heheh. Jangan lupa vote dan komennya untuk mendukung, kalau kalian suka, atau ingin kasih opini ini-itu, ya ^^

******

"Ketangkasan, keefektifan gerakan, kekuatan, ambisi; di atas rata-rata."

Bibirku melengkung mendengar ulasan Black, si kepala mentor. Pria itu bersandar di kursi kerja dengan tablet dipegang tegak di atas meja. Rambut hitamnya yang gondrong hampir sebahu dan jenggot seperti jarang dicukur itu membuatnya tampak tua dan suram. Orang-orang bilang dia tak setua kelihatannya. Yah, mungkin tak lebih dari empat puluh. Tapi jangan sekali-kali membayangkan dia marah. Suaranya lebih seram kalau dia marah.

Kami berlima berjajar tak jauh di depan meja dengan kedua tangan di belakang punggung. Posisiku di tengah. Cowok di sebelah—yang hampir saja mengajakku berkelahi tadi—berdecak sebal. Heheh!

"Kecepatan belajar, kerja sama, komunikasi, pengambilan keputusan; di bawah rata-rata," lanjut Mentor Black.

"Tunggu dulu. Kecepatan belajar di bawah rata-rata?" tanyaku.

"Begitulah yang tertulis. Dan sayangnya, dengan empat nilai minus di hal-hal penting ini, aku terpaksa menempatkanmu sebagai cadangan dulu."

"Haaah?! Tidak salah?" Suaraku sampai menggema di ruangan itu. Empat orang lain malah sempat-sempatnya terkikik. Cih! "Aku meminta penilaian ulang!"

"Tes akan diadakan lagi enam bulan ke depan. Tidak ada penilaian ulang. Kupikir kalian sudah diberi tahu?"

Cewek berambut merah yang berdiri paling kiri berdeham. "Maklum, Pak. Kecepatan belajarnya di bawah rata-rata."

Cekikikan makin keras, bahkan ada yang kelepasan menyembur tawa. Aku tidak mengerti di mana lucunya.

Bukan cuma aku yang gagal! Mereka juga gagal di keahlian-keahlian yang kukuasai. Kenapa tertawa padahal sama-sama gagal?!

"Wah, lihat, tuh. Si muka merah jadi tambah merah."

Berani-beraninya dia menyebut julukan itu! "Muka merah" adalah ejekan gara-gara luka bakar di bagian kanan wajahku. Memangnya siapa yang membakarnya?! Dasar anak-anak bahagia generasi baru! Cengkeraman tangan di belakang punggungku bertambah keras seiring kemarahanku memuncak. Ingin sekali kuremas muka mereka sampai remuk! Atau kutonjok saja sekalian supaya hancur seperti robot-robot itu!

GRRRK!

Bunyi retakan membungkam cekikikan kecil mereka. Kuangkat tangan kiri. Lapisan logam yang menyelimuti pergelangannya retak. Asap tipis muncul bersama percikan-percikan listrik kecil. Mungkin ada kabel korsleting gara-gara cengkeramanku tadi rupanya terlalu keras.

"Pfft ...."

Satu semburan mengawali rentetan tawa dan ledekan dari teman-teman setim. Si cewek rambut merah bahkan memalingkan kepala. Aku yakin dia tertawa juga. Sialan!

"Scarlet, Mars, Xanthias, Biroo, Green." Panggilan Mentor Black mendiamkan mereka, menegangkan suasana kembali. "Dengan ini, sesi penilaian telah selesai. Persiapkan lagi diri kalian lebih baik untuk tes mendatang. Bagi yang mendapat kesempatan sebagai pasukan cadangan, berlatihlah sampai kami memberi tugas."

"Siap, Pak!" jawab yang lain.

Hanya aku yang tidak menyahut.

Keluar dari ruangan, teman-teman setim masih asyik mengejek, kecuali cewek satu-satunya di grup kami itu, Scarlet. Dia mengkritik kegagalan masing-masing, kecuali aku. Rupanya cewek itu sadar diri juga, tapi aku tetap tak terima.

Dilihat dari mana pun, nilai-nilaiku semua sempurna. Aku sudah mempelajari benar soal alien-alien itu, jadi tes tertulis pasti oke. Tes fisik melumpuhkan sepuluh robot pun berhasil kutaklukkan. Memang aku kurang percaya diri dengan tes mental, di mana ketenangan kami diuji dalam simulasi ingatan buruk. Kami harus mampu memilih hal yang benar dalam situasi-situasi yang dipersoalkan.

Itu yang paling jarang kulatih dan banyak soal tak bisa kujawab karena panik. Yang disimulasikan biasanya tentang kebakaran rumahku atau operasi pada kedua tangan dan kakiku. Semuanya menimbulkan gejolak aneh di perut dan aku sama sekali tak ingin ingat, kalau saja bukan untuk tes.

Dahiku tiba-tiba disentil. Aku memejamkan mata sesaat, merintih. Karena kaget, bukan karena sakit.

Ketika mata kubuka, Scarlet cemberut menatapku. Dia selalu cemberut, padahal wajahnya tidak terbilang buruk. Rambutnya yang sepinggang itu terlalu panjang, menurutku. Untungnya ketika bertarung selalu diikat. Setidaknya dengan begitu, aku tahu dia cukup serius.

"Kau mau latihan lagi setelah ini?" tanyanya.

Celingak-celinguk, rupanya tiga teman setimku yang lain sudah tidak ada. Kenapa Scarlet tidak pergi saja bersama mereka? Untuk apa mencampuri urusanku?

"Minggir!" jawabku, sambil menghindarinya dan berjalan kembali menyusuri koridor. Lift terletak di ujung, setelah melewati kantor-kantor.

"Hei! Kau tidak dengar, ya, kata Mentor Black?" Lagi-lagi Scarlet. Dia malah mengikutiku. "Komunikasimu jelek. Harusnya kau refleksi dan segera memperbaiki diri."

Persetan! Aku akan memperbaiki diri kalau dia bisa menyusul kehebatanku.

Beberapa penghuni markas, yang terdiri dari anak-anak seumuran atau orang lebih tua, berlalu-lalang di sekitar. Sebagian dari mereka berjalan dalam grup dan berbincang-bincang. Makan malam, tugas gagal, istirahat, kebanyakan hal yang tak penting. Aku bingung, kenapa mereka selalu membuang waktu seperti itu? Bagaimana mungkin komunikasi penting, sementara pekerjaan mereka selalu gagal dan pembasmian alien belum saja tuntas sampai sekarang? Sistem penilaiannya memang tak masuk akal!

"Ah, memang benar ejekan mereka, ya. Kau memang sulit belajar."

Sialan! Aku seperti tersengat listrik. Seluruh tubuhku seolah dipaksa kaku oleh otak ... otak yang tak bisa menerima celetukan itu.

Dia sebenarnya mau apa?! Menyulut emosi atau ingin menertawaiku lagi?! Tapi, kalau tak kubalas, aku akan sama seperti yang dikatakannya.

"Urgh ...," aku menggeram kesal. Kurasa pilihanku cuma satu. Lagi pula, menjawab pertanyaannya—yang dia sebut komunikasi itu—tak ada ruginya, 'kan? "Setelah memperbaiki tanganku, aku akan keluar ke hutan," kataku.

"Selamat! Anda telah berhasil maju satu langkah!"

Scarlet sialan itu entah sejak kapan bisa tersenyum.

The Golden Catalyst [COMPLETED]Where stories live. Discover now