Bab 11 - Aku Bukan Malaikat

59.7K 3.6K 125
                                    


بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Benar apa kata orang, yang luarnya baik, belum tentu baik pula dalamnya. Yang luarnya buruk, belum tentu dalamnya juga buruk

🍁🍁🍁

Seperti biasa, Aiza menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Gerakannya tidak secepat biasa, gadis itu lebih banyak melamun.

Mario tiba di meja makan, Aiza masih setia menata piring untuk tiga orang. Dipandangnya gadis itu dengan teliti, begitu dalam.

"Bukankah kamu sendiri yang sudah membuka cadar Aiza sampai akhirnya Ayah melihat wajah cantik dan mulusnya itu?"

"Aku tidak pernah melakukan itu."

"Kamu yang melakukannya, sewaktu kamu dalam pengaruh alkohol."

"Benarkah?"

"Iya. Malam itu kamu mabuk berat, Mario. Dengan lancangnya kamu telah membuka kain itu dari wajah Aiza. Dan bodohnya, kalian berdua sedang ada di kamar Ayah. Ini benar-benar keberuntungan bagi Ayah, keadaan benar-benar mendukung Ayah untuk melihat keindahannya."

Mario jadi ingat suatu pagi, dia pernah bangun dan menyadari bahwa dia tertidur di kamar Marteen.

Ya Tuhan, katakan, kalau semua itu salah!

"Ayah tidak bisa asal mengarang cerita." Mario masih berupaya mengelak.

"Siapa yang mengarang? Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanya langsung Aiza."

"Tidak, aku tidak mungkin melakukan itu." Mario berjalan mundur, tidak terima dengan kenyataan yang baru ia dengar. Kepalanya menggeleng.

"Seharusnya Ayah berterima kasih padamu. Berkat kamu, Ayah menemukan seseorang yang begitu spesial."

Mario tercenung lama, otaknya berpusing untuk mengingat kembali.

Semoga salah.

Semoga semua itu tidak benar.

"Itu tidak mungkin." Mario keluar dari ruang kerja Marteen, menutup pintu dengan hentakan keras sesuai intensitas kekecewaan.

"Untuk apa kamu masih menyimpan tiga piring itu?" Mario melempar pertanyaan, menghentikan gerakan Aiza, perempuan itu mendongkak.

"Untuk..."

"Menjaga-jaga, jika sewaktu-waktu orang tuaku duduk di sini dan makan bersama?" potong Mario gamblang.

Aiza mengangguk seadanya.

"Bagaimana bisa kamu mengatakan itu, sedangkan kamu sendiri yang akan menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang tuaku."

Lagi-lagi gerakan Aiza tersekat ketika tangannya sedang menuangkan air ke dalam gelas. Pelan-pelan, teko yang ada di tangan yang tiba-tiba gemetar diletakkan kembali ke atas meja, melempar pandangan pada Mario yang kala itu tersenyum pahit.

"Ternyata kamu tidak lebih dari seorang gadis munafik."

Blam!

Ucapan itu begitu menohok, menembus organ paling dalam, Aiza mati kutu.

"Aku pikir, perempuan berpakaian syar'i dan bercadar seperti ini..." Mario mengamati tubuh Aiza dari bawah sampai atas dengan tatapan mencemooh, hina sekali. "Memiliki hati yang baik. Tapi aku salah, bahkan salah besar." Mario mengembuskan napas, berjalan beberapa langkah menjauhi meja makan---lebih tepatnya, membelakangi Aiza yang sedang menggigit bibir bagian dalam di balik niqab.

Di Balik Niqab [TERBIT]Where stories live. Discover now