Enam

99 8 0
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Dianita Febriana binti Abdullah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!"

"Sah?"

"Sah"

Suara itu menggema di telinga Riana. Bagaikan ia sedang berada di dalam gua. Suara itu tak berhenti mendengung di telinganya. Setitik air matanya jatuh namun segera ia tepis begitu Roshni memeluknya dengan erat sambil mengucapkan selamat atas pernikahannya.

Dengan memakai pakaian tradisional Mandar berwarna hijau tua, Riana tampak sangat cantik. Ia duduk di tengah tempat tidur menunggu sang suami menemuinya dengan jantung yang berdebar sambil menunduk gugup.

"Nggak boleh masuk! Uangnya dulu kak!" Suara Roshni mengalihkan perhatian Riana ke pintu kamar. Sebagian keluarganya yang berada di dalam kamar tertawa melihat tingkah Roshni.

Habib mengeluarkan amplop dari saku jas tutup yang ia pakai dan memberikannya ke tangan Roshni "baiklah adik ipar. Boleh aku menemui istriku sekarang?"

Roshni mempersilahkan Habib masuk. Dengan cepat Riana kembali menunduk.

Habib duduk di depan Riana. Lama terdiam menatap wajah cantik istrinya itu lalu meletakkan telapak tangannya di ubun-ubun Riana memejamkan matanya berdoa dan di aamiin kan oleh Riana.

Habib dan Riana di tuntun saling menyentuhkan kuku ibu jari mereka. Riana enggan memberikan tangannya karena malu. Semua yang melihat itu gemas dibuat oleh tingkah Riana.

Habib menyapu dahinya yang berkeringat dengan tangannya. Ia sangat gugup sekarang.

Mereka akhirnya keluar dari kamar saat semua ritual pernikahan selesai dilakukan. Riana langsung memeluk bibinya. Ia menangis dan bibinya pun ikut menangis. Habib mengambil beberapa lembar tissu dan memberikannya pada Riana saat ia sudah melepas pelukannya. Riana sedikit tertawa karena sekarang pasangan suami istri baru itu disoraki oleh semua tamu yang datang. Ia segera menghapus air matanya dan mencium tangan paman dan bibinya. Begitupun dengan Habib.

***

Shalat Dzuhur pertama mereka sebagai pasangan suami istri. Riana tak berhenti menitikkan air matanya mengingat sekarang almarhum dan almarhumah orang tuanya tidak akan lagi tersiksa di alam kubur karena tanggung jawab mereka sudah berpindah ke Habib.

Mengingat hal itu. Air mata Riana semakin deras saat mencium punggung tangan suaminya. Habib mngusap lembut pipi Riana.

"Kenapa? Jangan menangis seperti ini sayang. Soalnya kamu tambah cantik kalau lagi nangis. Jadinya pengen peluk"

Ucapan Habib mengundang kekehan geli dari Riana. Seketika air matanya berhenti mengalir berganti senyuman  saat merasakan kembali bibir Habib mendarat di keningnya.

"Abi.... Aku...."

"Abi? Tidak memakai kata kak lagi? Berarti aku harus memanggilmu umi?" Habib menarik hidung Riana dengan gemas "seandainya aku tahu punya istri itu semenyenangkan ini. Habis sunat, sorenya aku nikahin kamu"

Riana mengerjap bingung "maksud Abi apa sih? Aku nggak ngerti. Memangnya Abi baru disunat kemarin?"

"Astaghfirullah Riana. Kalau aku disunat kemarin hari ini aku nggak akan pakai celana" Habib bergidik ngeri "rasanya pasti sakit" ucapnya dengan suara berbisik.

"Mana aku tahu. Aku kan tidak merasakan hal itu"

***

Riana berdiri di dekat jendela kamar Habib, tampak di depan rumah Habib banyak anak kecil sedang mendongak ke arah Riana sambil memanggil Habib

" Pak Dokter.... Pak Dokter... Pak Dokter... "

Riana tersenyum tipis melihat tingkah anak kecil itu. Ia melambaikan tangannya ke bawah dan decakan kagum dari anak-anak itu membuat Riana tersenyum geli

"Waaah... Ibu Dokter sangat cantik"

Tak lama kemudian suara ibu-ibu yang datang mendekat membuat anak-anak kecil itu berlarian. Ibu-ibu itu menunduk sopan meminta maaf pada Riana karena telah mengganggu istirahatnya. Riana hanya menahan tawanya hingga sebuah sosok tegap berdiri disampingnya "Apa yang sedang kamu lihat? Sepertinya seru sekali. Kenapa tidak mengajakku?"

"Bukan apa-apa kok Abi, hanya anak kecil saja. Lucu mereka manggil kamu terus. Abi sudah selesai mandinya?" Riana mengalihkan pandangannya ke arah tempat tidur dimana ia menyiapkan pakaian Habib.

"Iya, sekarang giliran kamu yang mandi. Jangan lama-lama ya!  Nanti aku rindu" Habib tersenyum melihat semburat merah terlihat jelas di pipi Riana.

"Ish, apa sih Abi nih" Riana bergegas mengambil pakaian gantinya dan masuk ke kamar mandi.

Habib tersenyum senang karena berhasil menggoda istrinya. Ia mendongak menatap langit malam yang semakin gelap. Rasa syukur tak henti ia panjatkan pada Sang Maha Pemilik Kehidupan. Ia tahu, ini bukanlah akhir dari masalah yang tengah di jalaninya. Tapi ia bertekad agar dapat menyelesaikan setiap masalah yang menghampirinya nanti di hari kemudian. Akan banyak pertanggung jawaban yang harus ia hadapi.

Habib menutup jendela kamarnya lalu menggelar dua sajadah menghadap kiblat. Ia tersenyum tipis mengingat mulai sekarang akan ada seorang Imam dan seorang makmum. Ia tidak akan beribadah sendiri lagi. Pandangannya beralih ke pintu kamar mandi yang belum menunjukkan tanda-tanda pintu itu akan terbuka. Entah apa yang dilakukan Riana di dalam sana hingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Cukup lama hingga rasanya Habib ingin mendobrak pintu itu.

Senyumnya merekah saat melihat bidadarinya keluar dari kamar mandi. Terdengar lucu memang. Tapi itulah perumpaan Riana di mata Habib. Habib ingin Riana menjadi bidadarinya di dunia dan di akhirat kelak. Hanya Riana saja.

Habib tampak bingung melihat ekspresi sedih Riana saat melihat dua sajadah yang tergelar.

"Abi.... " Riana menatap Abi dengan pandangan menyesal. Cukup lama hingga Habib hanya mengangguk saja ketika sudah mengerti arti tatapan Riana.

Habib langsung mendekati Riana menangkup sebelah pipi istrinya itu "Abi ngerti. Kamu istirahat duluan saja ya"

Riana mengangguk pelan, memilih merapikan pakaiannya ke dalam lemari yang sudah dikosongkan Habib. Ia melirik suaminya yang tengah shalat sendirian "kenapa harus sekarang sih? Abi pasti kecewa sama aku" batinnya lalu keluar dari kamar. Ia menatap seluruh isi rumah itu. Rumah itu adalah peninggalan milik orangtua Habib. Mereka akan tinggal berdua dalam satu atap sekarang. Awalnya Riana mengira mereka akan tinggal bersama dengan keluarga Faisal.  Tapi begitu Habib membawanya ke rumah ini, ia langsung mengerti walaupun memang ia menanyakan pada Habib agar lebih jelasnya. Semuanya tampak bersih, mungkin memang sudah dibersihkan agar nyaman untuk ditinggali oleh Habib dan Riana.

"Sedang apa Ri?" Riana terlonjak kaget saat mendengar suara dari balik punggungnya. Ia berbalik dan mendapati Habib menatapnya dengan penuh telisik.

"Mm... Itu Abi, Riana mau izin keluar. Buat beli itu, mm... Abi ngerti kan?" Riana menunduk malu. Entahlah, memikirkan bagaimana saat ia keluar rumah lalu dipandangi oleh tetangga karena menjadi orang baru di lingkungan ini. Ia malu, apalagi malam semakin larut. Meminta tolong pada Habib pun ia malu. Tidak mungkin kan Habib keluar untuk membelikannya pembalut.

"Sudah larut Ri, yang buka hanya supermarket. Kalau di dekat sini pasti sudah tutup semua. Biar Abi yang pergi ya,  tunggu disini"

"Tidak Abi!  Jangan!  Biar Riana saja yang beli. Abi pasti malu kalau beli itu untuk Riana"

"Ssttt... Abi tidak mau penolakan. Apa salahnya coba?" Habib mengganti pakaiannya di kamar mandi dan bergegas keluar rumah tak lupa mencium dahi Riana sebelum pergi. Riana hanya bisa mnghela nafas menatap mobil suaminya yang menjauh.





__________________________________
25 Jumadil Akhir 1440

Ditulis seabad yang lalu 😅
Maafkan dosa hamba 😌

Dianita Febriana|✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang