6

9.4K 487 11
                                    

Note: Jangan baca di waktu-waktu sholat!.

Jangan lupa vote dan komentarnya serta kritik dan sarannya

Mohon berikan dukungannya untuk cerita ini, terimakasih untuk 100 votenya, saya sangat gembira karena hal itu sehingga membuat saya semangat membuat part ini dan Alhamdulillah dapat saya selesaikan hari ini juga.

~~~***~~~

Elisa memandangi hamparan sawah yang hijau dari balik bus yang ditumpanginya bersama Bik Sri. Setelah satu bulan dirawat di rumah sakit, akhirnya Elisa diijinkan untuk pulang. Namun ketika pertama menginjakkan kaki di rumah kedua orang tuanya telah banyak perkataan-perkataan tetangga yang menusuk telinga yang ia dengar.

Kabar bahwa Pak Ridwan menyusul Elisa kerumah sakit kandungan, hingga terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya menyebar begitu saja di komples tempat tinggal mereka. Semua tetangga menyalahkan Elisa atas kematian kedua orang tuanya. Mengatakan bahwa ia anak pembawa sial dan petaka.

Tak segan orang bergosip tentang Elisa saat ia keluar untuk membeli sayur mayur. Bahkan panggilan pelacur pun dilemparkan oleh orang-orang kepadanya. Ia sudah menduga bahwa orang-orang akan menilai Elisa dengan sebelah mata, tanpa mau tahu kejadian sebenarnya. Ingatan Elisa berputar pada kejadian dua hari yang lalu.

"Sayurnya berapaan, Pak?" tanya Elisa pada tukang sayur karena ini memang pertama kalinya ia berbelanja.

"Sayur kangkungnya seikat dua ribu, tiga ikat lima ribu, Neng," jawab tukang sayur sembari mengambil beberapa ikat sayur kangkung dan menumpuknya di depan Elisa.

Seorang wanita paruh baya dengan gincu merah pekat mendekati Elisa dan mencoleknya. "Elisa katanya hamil yah?" tanya wanita itu.

Elisa memilih diamdan lebih memilih fokus pada belanjaanya. Percuma berbicara, sebab apapun yang ia katakana akan tetap salah dan dipandang sebagai pembelaan oleh wanita itu.

"Kok diam, malu yah? ih, nggak usah malu! kan waktu ngelakuin sampai bisa hamilkan nggak malu." Tukang sayur dan beberapa ibu-ibu yang berbelanja menatap Ibu Irna saat mendengar perkataan kasar kasarnya.

"Berapa Pak?" tanya Elisa sembari menyerahkan kantong berisi belanjaanya,

"Dua puluh lima ribu, Neng," kata tukang sayur.

"Eh kok, buru-buru? Malu yah, pelacur kok punya malu," ucap Ibu Irna masih memprofokasi Elisa. sedangkan ibu-ibu yang lain memilih diam tidak ingin mencari masalah dengan Ibu Irna, karena ia memang terkenal memiliki mulut yang cukup berbisa.

Elisa tidak menghiraukan Ibu Irna dan segera membayar belanjaanya, kemudian meninggalkan tetangga sebelah rumanya itu. Samar-samar Elisa masih mendengar teriakan yang memanggilnya "Pelacur" dari bibir wanita paruh bayah itu.

"Non Elisa kenapa?" tanya Bik Sri saat melihat raut wajah Elisa yang menahan tangis ketika memasuki dapur.

"Apa tawaran Bibik untuk pindah ke Bogor itu masih berlaku, Bik?" kata Elisa balik bertanya.

"Kenapa tiba-tiba, Non? Ada apa?" tanya Bik Sri sembari mematikan kompor dan segera menghampiri Elisa.

"Tetangga Bik ... Elisa rasa, Elisa tidak bisa tinggal di sini bagi Bik," jawab Elisa menahan tangis.

Bik Sri memeluk Elisa. "Kalau Non sudah mantap, Insya Allah pekan depan kita pindah."

Elisa membutuhkan suasana baru untuk memulai hidup baru, tanpa ada yang mengenal masalalunya. Kejadian yang menimpanya membuat Elisa banyak belajar dan mendewasakan diri.

Embun yang Ternoda | Terbit "Menuju Cahaya"Donde viven las historias. Descúbrelo ahora