lesson learned

995 147 15
                                        

.
Banquet kemarin berakhir pada pukul tiga malam. Setengah isi rumah yang kelelahan berpesta bangun begitu siang, sedangkan malaikat-malaikat kecil terjaga lebih cepat dari biasanya. Eudda bangun ketika jarum jam menunjuk ke angka delapan.

Setelah berpakaian dan menghabiskan sebaki sarapan yang dibawa pelayan, ia segera pergi ke kamar Keehl. Diketuknya pintu mahogani menuju kamar kakaknya itu, diketuk sekian lama dan tanpa jawaban, sampai Nenek Helen yang lewat mengingatkan bahwa tidak ada orang di dalam.

Telinga kucing Eudda turun.

Memang seharusnya begitu. Eudda lupa bahwa Pesta Kesepuluh Tahun belum selesai; justru adegan klimaksnya baru akan mulai. Menjelang pagi setelah banquet berakhir, Keehl  dituntun menuju gereja tempatnya tadi mendapatkan permata. Lalu ia akan berdiam di sana seharian-- tanpa cahaya, tanpa teman. Hanya ia dan permata sihirnya dan roh penjaga yang menimbang kelayakan jiwanya. Entah apa yang terjadi di dalam kepompong gelap itu.

Bagaimana cara menentukan seorang penyihir layak mendapat berkat? Berkorban, berpuasa. Menyepi dengan hanya ditemani asa. Setidaknya, itulah yang diberitahukan Tutor mereka pada suatu hari, walaupun Eudda kecil kurang begitu mengerti. Yang pasti itu sangat sulit, sesuatu yang hanya bisa dilakukan ayah mereka dan Keehl. Sesuatu yang hanya bisa ia bayangkan mampu dilakukan ayah mereka dan Keehl.

Panthera atau bukan? Hanya dari dua cabang takdir sederhana bisa menentukan hidup segini banyak.

Eudda melongok dari jendela barat bergaya croisee, mengintipi atap hitam gereja yang dibangun tak jauh dari mansion Everroses. Bangunan tersebut terletak di pedusunan terdekat dan berusia jauh lebih lama dari keluarga Everroses maupun pemukiman yang mengelilinginya. Menurut dongeng Nenek Helen, patung yang ada di depan altar dulunya hidup; seekor Jaguar raksasa yang tercipta dari tetesan benih Dewa Bertanduk. Jaguar itu tegak, menjaga daratan ini tanpa pernah bergerak seincipun, lalu waktu membuatnya sekeras batu. Gereja pun dibangun di sekelilingnya dengan batu-batu hitam, meniru image sang penjaga.

Di dalam perut sang Jaguar ada Keehl, sendirian. Andai Eudda bisa menemaninya.
.
.
"Paling lama seminggu." jawab Tutor mereka saat murid terciliknya bertanya di sesi pelajaran hari ini. " Paling cepat malam ini. Roh Panthera selalu datang di tengah malam."

"Seminggu..." Lama sekali. Eudda mengira hanya tiga hari.

"Tetapi kalau sampai tujuh hari tak muncul juga hasil yang diharapkan, berarti semuanya sia-sia."

Sia-sia. Seperti kakak sulung ayahnya yang gagal mewaris karena bukan Panthera. Tercap gagal, tidak terpilih, dilengser adik sendiri lalu pergi menjadi pendeta. Tidak istimewa.

Pandangan hijau Eudda merunduk ke arah meja, agak lirkaca membayangkan Keehl menerima beban seberat itu.

Si angora tua menyadari kekhawatiran Eudda dan dengan sengaja mengomeli kesalahan tulis anak itu agar perhatiannya teralihkan. Ia juga menasehati si kecil agar tidak memikirkan hal-hal yang sulit diubah. Satu-satunya cara bagi Eudda untuk mendukung perjuangan kakaknya hanyalah berdoa, memohon pada Sang Jaguar untuk membagi kearifannya. Selain itu, sisanya hanyalah perjuangan dan nasib.

Eudda mengangguk dan meneruskan latihan tulisnya, memberikan garis-garis mungil pada huruf t.

Di sampingnya, Aveline West membuat kelokan pena pada setiap a b c. Jemarinya kaku, seperti jarang menulis.

Sementara di meja lain yang terpisahkan, para anak yang lebih tua tengah merapal sejarah Albion dengan Governess yang dibawa Melville. Governess itu jauh lebih galak daripada Tutor Everroses, dengan tongkat kayu tipis di tangan dan gaun polos membosankan. Ujung tongkat itu akan melayang pada setiap anak yang tak urut menyebut silsilah monarki kerajaan Albion.

mon seul.Where stories live. Discover now