GR

142 41 10
                                    

         Sebelum bel berbunyi aku berdiri didepan gerbang, menunggu Riani. Aku belum mempunyai cukup keberanian untuk datang ke kelas senior untuk mengembalikan sepatu__ untuk apapun itu aku belum berani. Mengingat hari ini baru menginjak hari kedua ku di SMA Pelita Harapan.

       Aku datang tiga puluh menit lebih awal namun tak ku lihat tanda-tanda seorang Riani muncul. Setelah bel berbunyi aku memutuskan untuk masuk ke kelas. Aku menaruh sepatu Riani dikolong kursi.

       Kegiatan hari ini dimulai dengan pembagian kelompok. Kami diberi selembaran kertas berisi nama-nama anggota kelompok dan ketua kelompok sudah ditetapkan oleh panitia. Mataku terbelalak saat melihat nama Feilin Diatri Sukmawijaya tertera sebagai ketua kelompok. Setiap kelompok membentuk sebuah lingkaran tempat duduk. Saori satu kelompok dengan ku. Dan, tiga laki-laki dihadapan ku ini....aku belum mengenalnya.

"Liat Fei, yang tengah. Lumayan bukan?" Bisik Saori.

"Sst

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Sst. Nanti dia GR" Balasku.

"Apa itu GR?" gadis keturunan Jepang asli ini bertanya dengan memasang wajah polos. Aku terkekeh sendiri.

"Jadi GR atau Gede Rasa artinya bisa merasa tersanjung yang tidak pada tempatnya; merasa penting atau terlalu percaya diri bahkan salah paham; bisa juga berarti perasaan senang dalam jumlah besar, gede itu besar atau berlebihan. GR adalah kata sifat" jawabku yang diikuti anggukan pelan dari gadis berkulit putih bersih itu.

"By the way, kamu serius dari kecil tinggal disini?" Kali ini aku tergelak. Saori mencubitku dan tiga lelaki itu memasang tanda tanya besar dikepala mereka.

"Maaf, bagaimana kalau kita awali dengan perkenalan?" Usulan ku disambut hangat oleh anggota kelompok. Dari pojok kanan samping namanya Ali, Bimo, dan yang terakhir Daniel.

Bimo yang disebutkan Saori 'lumayan' itu justru berkulit paling gelap dibanding dua temannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bimo yang disebutkan Saori 'lumayan' itu justru berkulit paling gelap dibanding dua temannya. Mungkin dimata Saori itu yang membuatnya terlihat lebih maskulin.

Kami membagi tugas untuk acara pentas seni yang akan diadakan besok siang sebagai penutupan Masa Orientasi Siswa tahun ini.

"Sebentar Fei. Kalau kita nyanyi berdua kayanya terlalu biasa. Bagaimana kalau kamu dan Bimo yang nyanyi?" Saori menyela ditengah diskusi.

"Sip" Ali mengacungkan jempolnya.

"Good" Daniel mengikuti apa yang Ali lakukan.

"Bimo?" Saori menoleh ke arah Bimo yang belum bersuara.

"Why not?" Jawab lelaki berjam tangan g-shock merah yang tak kalah keren dari si pemiliknya.

"Baiklah" aku menyanggupi apa yang Saori inginkan. I know what you mean, girl. Gumamku gemas.

"Semangat" aku mencodongkan tubuhku tepat dihadapan Bimo sehingga wajah ku dan wajahnya nyaris begitu dekat. Ku lihat dia yang datar tanpa gelagat apapun. Lucu. Aku masuk begitu saja dalam permainan Saori.

       "Kalau begitu pulang sekolah harus latihan" Ali memberi pendapat. "Betul itu, jadi rumah siapa yang bersedia kita repotkan?" Daniel ikut bersuara. "Rumah ku saja" Saori menawarkan diri. "Kita baru saja kenal tapi sudah merepotkan. Maaf ya" lelaki berkulit paling gelap itu merasa tidak enak. Deg! Itu yang baru saja ingin aku katakan, kenapa Bimo???

          "Tidak apa-apa. Kebetulan orang tua ku sibuk dengan pekerjaannya. Jadi rumah ku kosong. Ya begitulah" jelas perempuan berambut pendek itu.

         Aku masih hanyut dalam lamunan, Bimo menarik. Apa aku akan jatuh lebih dalam? Bukan oleh permainan yang Saori buat, melainkan pola pikir ku yang mengatakan bahwa yang ada di benak ku dan Bimo itu sepertinya sama, sunyi. Tapi ingat Fei, ada kata sepertinya, bisa saja ya bisa juga tidak.

"Hei" Daniel memecah lamunan pendek yang baru saja melintas diotakku, Saori dan Ali terbahak, tapi tidak dengan Bimo, Ia...Tenang.

      "Pulang sekolah kita berangkat ke rumah Saori, oke?" Aku menarik kesimpulan dengan gelagap, ibu jari dan telunjuk ku menyatu sementara tiga jari lainnya berdiri membentuk isyarat okay.

      Kali ini Bimo tersenyum, Ia terlihat seperti pantai yang disinari langit senja, begitu tenang untuk menjadi tempat berlabuh. Ah, aku rasa ini terlalu berlebihan. Bagaimana kalau air laut saja? Luas dan menenangkan.

       Sementara itu diskusi dilanjutkan dengan membahas beberapa hal yang ditugaskan panitia. Hingga menjelang jam makan siang kelas begitu ricuh dengan keasyikan siswa yang saling bertukar pendapat dilingkaran mejanya masing-masing.

I Love You To The Moon And BackWhere stories live. Discover now