Brondong Manis Part 32

1.5K 118 10
                                    

***
(Namakamu) terduduk gelisah di dalam taksi. Meski ia sudah berusaha menenangkan hatinya dengan melihat pemandangan melalui kaca tetap saja rasa gelisah itu menyergap hatinya. Ia tahu betul bagaimana perangai orang tuanya. Jika sudah bersikap seperti itu tandanya mereka sangat marah. Catat, SANGAT marah.
Orangtuanya tidak mungkin pulang tanpa memberitahu. Lagipula beberapa hari yang lalu mereka baru saja menelfon untuk memberitahu jika pekerjaan mereka masih banyak.
Ah, kak Rizky gegabah banget jadi orang. Lagian aku juga nggak jadi donorin ginjal ke Iqbaal kok, gumam (Namakamu).
Ia ingin sekali lagi memarahi kakak sepupunya itu. Tapi nampaknya percuma. Orang tuanya sudah tahu semua. Nggak ada gunanya terus marah-marah. Kemarahannya tidak akan merubah apapun.

Lima belas menit kemudian, taksi yang ditumpangi (Namakamu) tepat berhenti di depan rumah. Setelah membayar ongkos, ia bergegas turun. Sejenak ia menghirup nafas panjang untuk menenangkan diri sekaligus menyiapkan mental.

Ceklek.

Dengan sekali gerakan ia membuka pintu. Dan saat pintu terbuka. Dilihatnya papa dan mamanya sudah duduk dengan manis di ruang tamu dengan mata yang tertuju pada (Namakamu).

"Eh papa...mama." sapa (Namakamu).
"Darimana kamu, nak?" tanya Arini, mama (Namakamu).
"Rumah sakit, ma. Jenguk temen." jawab (Namakamu).
"Iqbaal?" sahut Bram, papa (Namakamu).
(Namakamu) tercekat. Hingga ia hanya berdiri mematung.
"Duduk." perintah Bram.
Dan (Namakamu) mengangguk lalu menghampiri kursi yang ada di depan orangtuanya.
"Siapa yang mengajarkanmu hingga kamu menjadi orang yang gegabah?" Bram kembali memulai pembicaraan setelah (Namakamu) duduk di depannya.
Tak ada balasan dari (Namakamu). Ia hanya menunduk dan terdiam. Ia sebenarnya tahu kemana arah pembicaraan Bram, namun ia memilih diam.
"Kamu anak papa dan mama satu-satunya, (Namakamu). Gimana kalau terjadi apa-apa sama kamu?" lanjut Bram.
"Papa, come on. Kenyataannya aku nggak melakukan apa-apa kan?" balas (Namakamu).
"Itu karena ada donor lain yang tiba-tiba datang. Kalau tidak? Pasti kamu akan melakukan itu kan?" seru Bram.
Sementara Arini yang duduk disampingnya masih diam dan terus mengusap lengan Bram dengan lembut untuk menenangkannya.
"Cuma karena cinta kamu jadi seperti ini? Nak, cinta itu harus pakai logika."
Bram terdiam sejenak.
"Papa nggak suka kalau kamu sama dia."
(Namakamu) terhenyak. Nafasnya sejenak seperti terhenti. Ia tak menduga ayahnya akan berkata seperti itu.
"Sayang, papa sama mama nggak pernah melarang kamu bersama siapapun. Tapi kalau itu merugikan kamu, kami nggak akan tinggal diam." Arini akhirnya angkat bicara.
"Ma, Iqbaal sama sekali nggak ngerugiin aku kok." balas (Namakamu).

Hening.

Tak ada suara tercipta. Hanya detik jam yang terdengar.

"Jangan diulangi." sahut Bram.
(Namakamu) hanya mengangguk pelan. Sedari tadi ia tidak berani menatap ayahnya karena ia paham betul, ayahnya akan terlihat lebih garang ketika marah.
"Ya sudah. Masalah ini selesai. Jadi nggak enak begini suasananya." ujar Arini kemudian.
"Papa ke kamar dulu kalau begitu." kata Bram lalu beranjak menuju ke kamar.
Arini pun turut beranjak. Namun ia menuju ke samping (Namakamu). Setelah ia duduk, lalu didekapnya (Namakamu) dengan erat.
"Mama kangen kamu sayang." tukas Arini.
"Aku juga ma."
"Tadi kamu dapat salam dari Aldi."
Seketika (Namakamu) melepaskan pelukan ibunya.
"Aldi? "
"Iya. Tadi Aldi yang nganterin papa sama mama ke rumah."
(Namakamu) mengerutkan kening, seolah meminta penjelasan lebih.
Arini pun mengerti. Sejenak ia tersenyum lalu mulai menjelaskan. "Jadi tadi waktu di bandara, kami ketemu sama Aldi. Ternyata dia habis mengantarkan seseorang di bandara. Dan dari dia juga akhirnya kami jadi tahu banyak karena dia tadi cerita ke kami."
(Namakamu) hanya terdiam. Tak berniat membalas perkataan ibunya.
"Dia juga cerita soal Stela. Termasuk apa yang terjadi sama Stela."
"Apalagi ma?" tanya (Namakamu).
"Soal kesalahpahaman diantara kalian. Dia merasa bersalah banget katanya." jawab Arini.
"Udah kuduga. Dia ngadu ke papa sama mama."
"Bukan ngadu nak. Ihh jadi ngambek gitu."
"Bukan ngambek ma. Cuman kenapa mama malah jadi belain Aldi."
"Manjanya kumat."
"Aaaaa mama"
(Namakamu) kembali memeluk Arini erat.

***
Rizky melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Satu jam yang lalu ia membuat janji dengan gadis yang telah berhasil mencuri hatinya sekaligus melukai hatinya. Nabila.
Ada yang ingin ia sampaikan. Meski ia tahu kemungkinannya kecil tapi ia tak ingin mundur. Ia akan mencoba.

Tiga puluh menit kemudian, ia sampai di depan rumah bercat orange yang nampak asri. Dan belum sempat ia memencet bel, si empunya rumah sudah terlebih dahulu keluar. Sejenak Rizky terdiam. Ia menemukan sepasang mata sendu yang menyambutnya. Ia tahu ada kesedihan yang begitu mendalam disitu.

"Hai."
Rizky meyapa singkat. Lalu mengulurkan bungkusan pisang goreng kesukaaan Nabila.
"Hai. Apa ini?" tanya Nabila sambil menerima bungkusan itu.
"Kesukaan kamu." balas Rizky.
Nabila tersenyum lebar dan terlihat begitu antusias.
"Makasih." ujar Nabila.
Rizky sedikit lega. Ia ikut senang ketika melihat senyum lebar Nabila.
"Eh duduk dulu. Aku mau naruh ini ke dalam." Lanjut Nabila.
Rizky mengangguk.

Tak lama Nabila kembali keluar sambil membawa nampan berisi dua gelas orange juice.
"Silakan." ujar Nabila.
"Nggak usah repot-repot, Bil." balas Rizky.
"Nggak repot kok. By the way, ada apa Ky?" ucap Nabila.
Rizky terdiam. Ia bingung memulai darimana. Ia juga takut salah bicara.
"Ky?"
"Eh... Emm iyaa. Aku mau ngomong sesuatu"
"Nggak tentang (Namakamu) atau Iqbaal kan?"
Rizky menggeleng.
Sejenak ia terdiam, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Balon?" tanya Nabila sambil menerima balon berbentuk hati yang diserahkan Rizky.
"Kamu nggak takut balon kan?"
Nabila menggeleng.
"Pecahin kalau kamu ingin tahu apa isinya."
Nabila mengerutkan kening namun menuruti apa kata Rizky. Diambilnya peniti yang ada di nakas.

Doorr!!!

Saat balon sudah meletus. Sebuah cincin menggelinding di kaki Nabila. Masih dengan ekspresi bingung, Nabila memungut cincin itu.
"Apa maksudnya, Ky?" tanya Nabila.
Rizky menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan.
Digenggamnya tangan Nabila.
"Sejak kita bersama, aku merasakan jika aku...."
Rizky terdiam sejenak.
"Aku jatuh cinta sama kamu. Be my side, Nabila."
Nabila terperangah. Ia menatap mata Rizky dalam-dalam. Ia berharap ada kebohongan di dalamnya, namun ia tak menemukannya.
"Ky, aku...."
Rizky menyela, "Aku tahu hatimu milik siapa. Tapi aku ingin kamu mencoba. Lihat ada seseorang yang mencintaimu dengan tulus disini."
Untuk beberapa detik, Nabila terdiam. Pandangannya sedikit kabur karena ada genangan jernih yang ada di pelupuk matanya.
"Aku takut nyakitin kamu, Ky. Aku nggak pantes buat kamu." ujarnya.
"Tapi bagiku kamu yang terbaik, Bil. Come on, kamu harus mencoba. Kamu harus move on." balas Rizky.
Nabila kembali diam. Lalu dilepaskannya genggaman Rizky. Diangsurkannya cincin yang ada di tangannya di atas telapak tangan Rizky, lalu mengepalkan jari-jari Rizky hingga kembali membentuk genggaman.
"Maaf...." tukas Nabila dengan suara sedikit parau.
Rizky mengangguk-angguk mengerti. Meski hatinya sakit namun ia tetap mencoba tersenyum.
"Baiklah. Aku nggak memaksa, Bil. Yang penting aku udah lega karena udah mengatakan yang sejujurnya." ujar Rizky.
Nabila diam, tak merespon kata-kata Rizky.
"Ya udah, kalau begitu aku pamit ya. Maaf udah ganggu waktu kamu." lanjut Rizky. Lalu ia berdiri dan melangkah.
"Rizky....."
Nabila memanggilnya. Rizky yang baru saja melewati sofa pun berhenti dan berbalik menghadap Nabila. Lalu dilihatnya Nabila menghampirinya dengan sedikit berlari kemudian menghambur ke pelukan Rizky. Nabila memeluknya begitu erat. Rizky yang awalnya kaget, perlahan mulai membalas pelukan Nabila.
"Makasih, Ky. Makasih."
Rizky diam. Ia tak berniat membalas ucapan terimakasih dari Nabila. Ia masih menikmati aroma harum dari rambut Nabila.
"Setelah libur semester ini, aku akan pindah ke Bali. Aku ingin melupakan apa sudah terjadi disini. Aku ingin memulai lembaran baru. Jika kita berjodoh, kita pasti bersama lagi." ujar Nabila, lalu perlahan melepaskan pelukannya. Hingga kini mata mereka beradu.
"Jika Tuhan mengijinkan, aku akan berada pada rasa ini sampai waktu itu tiba." balas Rizky. Dan waktu memang sengaja mengurung mereka bersama untuk sejenak. Rizky mendekatkan wajahnya pada Nabila dan menyatukan dahi mereka. Nabila tersenyum, dan Rizky membalasnya. Rizky menangkup wajah Nabila. Ia semakin mendekatkan wajahnya hingga dirasakannya hembusan nafas Nabila. Dan Nabila perlahan memejamkan matanya. Beberapa detik kemudian, bibir mereka menyatu tanpa menyisakan jarak.

Bersambung....

Jangan baper yakkk
Maaf ngarett hihi

Brondong Manis Where stories live. Discover now