Part 2 Cafe

47.6K 1.4K 21
                                    

Nevan memberhentikan motornya di depan rumah mewah berlantai dua. rumah tersebut mempunyai pagar berwarna hitam yang lumayan tinggi.

Namun, masih dapat dilihat dari luar, kalau rumah tersebut mempunyai taman kecil yang dihiasi beragam jenis bunga dan ada satu air pancuran kecil di tengah-tengahnya.

Nevan langsung membuka helm full face nya yang berwarna hitam senada dengan warna motor ninjanya. Kemudian, ia segera menggeser pagar tersebut dan memasukan motornya kedalam garasi.

Yah, rumah mewah tersebut adalah rumah Nevan, yang sudah ditinggalinya kurang lebih sepuluh tahun bersama orang tuanya dan satu kakak perempuannya.

Kemudian, Nevan segera berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua, hal itu mengharuskan Nevan untuk menaiki beberapa anak tangga.

Dan disaat Nevan sudah sampai di anak tangga paling atas. Nevan mendengar suara nyanyian yang sangat nyaring dan begitu berisik. Ia tahu siapa pemilik suara cempreng tersebut.

"Baby nal teojil geotcheoreom anajwo
geuman saenggakhae mwoga geuri eoryeowo
geojitmalcheoreom kiseuhaejwo naega neoege
majimak sarangin geotcheoreom

majimakcheoreom ma-ma-majimakcheoreom
majimak bamin geotcheoreom Love
majimakcheoreom ma-ma-majimakcheoreom
naeil ttawin eobtneun geotcheoreom."

Nevan langsung menatap tajam ke arah pintu di hadapannya yang bertuliskan Bukan K-Popers Dilarang Masuk.

Tanpa pikir panjang lagi, ia langsung mendobrak pintu tersebut, dan ia menemukan kakak perempuannya Rosalie Lucya atau Cia, sedang heboh berjoget sambil bernyanyi d iatas kasurnya yang sudah berantakan.

"Ciiaaaaa!!!" teriak Nevan kesal.

Merasa dipanggil Cia langsung berhenti berjoget dan langsung turun dari kasurnya menghampiri adik semata wayangnya.

"Ehh, ade gue yang paling ganteng udah pulang. Mau ngapain masuk kamar gue? Lo udah jadi K-Popers makanya masuk ke kamar gue?" tanya Cia dengan sangat antusias.

Nevan tidak menghiraukan ucapan kakaknya yang sama sekali tidak berfaedah, lalu ia segera mematikan musik yang tadi mengiringi jogetan abstrak Cia.

"Tadinya gue mau nyantai dirumah, tapi karena gue lihat lo yang kalau joget udah kayak orang kesurupan, gue jadi males. Mending gue pergi ke cafe depan komplek. Dan kalau mama sama papa udah pulang, lo tolong sampein ke mereka." ucapnya dengan santai.

Setelah mengatakan itu Nevan segera keluar dari kamar Cia dan masuk ke kamarnya sendiri untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian yang santai, dan segera pergi ke cafe depan komplek perumahannya, Cafe Green.

****

Tata duduk di dekat pintu kaca cafe yang mengarah langsung kejalan raya, yang juga dapat terlihat rintikan air hujan yang kian lama menjadi deras.

Udara dingin serasa menusuk-nusuk tubuh Tata, yang hanya mengenakan kaos lengan panjang garis-garis dipadukan dengan celana jeans selutut.

Saat ini Cafe yang dikunjungi Tata sedang ramai pengunjung, karena waktunya hujan jadi tempat ini sangat digemari oleh berbagai macam kalangan untuk sekedar minum kopi.

Tiba-tiba seorang pelayan datang kemeja Tata.

"Mba, mau pesan apa?" tanya pelayan itu sopan dengan senyuman ramahnya.

Tata sontak menoleh kepelayan tersebut.

"Cappucino aja, mba." jawab Tata singkat tanpa melihat buku menu.

Pelayan tersebut menggangguk singkat lalu segera kembali ke dapur untuk membuatkan pesanan Tata.

Tata kembali menatap keluar cafe, memperhatikan setiap tetesan air hujan yang turun langsung ke bumi membasahi aspal jalanan hingga terlihat licin.

Selang waktu tiga menit pelayan tadi kembali menghampiri meja Tata, kali ini dengan membawakan secangkir Cappucinno panas. Lalu, menaruhnya di hadapan Tata dan kembali mengerjakan pekerjaan lainnya.

Tata belum menyentuh cangkir tersebut, ia hanya memandanginya dengan pandangan kosong, entah apa yang dipikirkan olehnya.

Lagi, lamunan Tata terbuyar, karena kedatangan tamu tidak diundang yang langsung duduk di hadapannya.
Tata terkejut, tapi ia berusaha untuk menutupi keterkejutannya.

Sontak ia mengangkat kepalanya, ingin mengetahui siapa orang yang telah mengagetkannya itu.

Tata menghela napas panjang dan memutar bola mata malas ketika mengetahui siapa orangnya. Kalian juga pasti tahu, kan?

"Ngapain lo duduk di sini?" tanya Tata ketus sambil bersedekap.

Merasa diajak bicara, Nevan langsung mengalihkan perhatiannya pada gadis di hadapannya itu.

"Yang lain udah penuh. Gak liat?" Nevan menjawab dengan mimik wajah datar, lalu kembali fokus pada ponselnya.

Tata langsung melihat ke arah lain, yang ternyata memamg benar tempat duduknya sudah penuh di isi oleh pengunjung Cafe.

Tata menghela napas pelan, pasrah saja. Lalu ia beralih meminum kopi di hadapannya yang sudah mulai mendingin, tidak ada lagi kepulan asap yang menandakan bahwa kopi tersebut masih panas.

Saat Tata menaruh cangkir kopi tersebut, tiba-tiba ia merasakan sakit di kepalanya. Sangat sakit, seperti ditimpa oleh ratusan batu bata.
Tata langsung memegangi kepalanya sambil menggigit bibir bawahnya kuat, menahan rasa sakit yang baru kali ini dirasakannya.

Tanpa disadari oleh Tata, Nevan memperhatikannya dengan raut wajah bingung.

"Lo kenapa, Ta?" tanya Nevan yang sudah penasaran. Ia langsung menyimpan ponselnya di atas meja, memfokuskan perhatiannya pada Tata yang sedang meringis.

Tata tidak menjawab pertanyaan Nevan, bukan karena ia tidak mendengarkannya, tetapi karena ia tidak mampu membuka mulutnya barang sedikit pun. Tata masih menahan rasa sakit di kepalanya yang berdenyut kuat, sangat sakit dan nyeri.

Ketika rasa sakit di kepalanya mulai berkurang, namun masih terasa, Tata langsung mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan meletakkannya di atas meja, dan segera pergi keluar Cafe meninggalkan Nevan yang masih bingung dengan Tata.

Pertanyaan mulai muncul di pikiran Nevan. Mengapa Tata meringis? Mengapa Tata mendadak menjadi pendiam seperti ini? dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya yang tidak bisa Nevan tanyakan langsung.

****

Tata masuk ke dalam kamar mandi rumahnya dan melap darah yang keluar tiba-tiba. Ia kesulitan bernapas dan terbatuk beberapa kali.

Dicky tadi sempat melihat Tata yang datang-datang ke rumah sambil menutupi mulutnya. Ia khawatir lalu mengetuk pintu kamar mandi.

"Ta, lo kenapa?" tanya Dicky berusaha tenang.

"Gak apa-apa. Santai aja," jawan Tata bohong.

"Gak usah bohong. Gue liat," ungkap Dicky.

Tata mengangkat kepalanya dan memandangi dirinya di depan cermin. Darahnya sudah berhenti keluar. Ia pun memutuskan untuk keluar dari kamar mandi dan menghampiri Dicky.

"Lo udah minum obat?" tanya Dicky langsung.

"Belum," jawab Tata diakhir dengan cengiran.

Dicky berdecak.

"Sana minum obat baru tidur. Kalo ada apa-apa panggil gue." kata Dicky dengan tegas.

Tata kicep, ia takut kalau Dicky sudah bersikap tegas seperti ini.

Dengan dipantau oleh Dicky, Tata segera meminum obatnya, mengganti baju, dan merebahkan tubuhnya di atas kasur.

"Jangan bilang mama papa, yah." Tata memohon.

"Iya, gak. Asalkan obatnya diminum terus."

Tata mengangguk kuat dan memberikan hormat pada Dicky, setelahnya Dicky keluar dari kamar Tata.

CatarinaWhere stories live. Discover now