√DEVAN 3 | Alasannya?

11.7K 699 30
                                    

"Yah, boleh ya? Please ...."

Risyad menghela napas pendek, sambil menatap putranya itu dengan tatapan sinis, "Memangnya apa faedahnya kalau kamu ikut?"

"Buat tambah pengalaman, Yah," jawab Devan dengan tatapan memelas.

"Selain itu, ada?" tanya Risyad dingin.

Hal itu justru membuat Devan menghela napas panjang. Agaknya, sampai kapan pun sang ayah tidak akan pernah memberinya izin sama sekali. "Biar keren tahu, Yah," ujarnya masih berusaha membujuk sang ayah. "Mana tahu Devan jadi kapten tim gitu, kan? Wuih, tambah mantul nggak tuh, liatnya? Mantap betul."

Sang ayah berdecak sekali, "Kalau ayah nggak kasih izin, gimana?"

Tuh, kan. Apa Devan bilang? Pemuda itu menunduk sembari menghela napas panjang. Memperhatikan ujung-ujung kakinya yang ia gerak-gerakkan dalam diam, kemudian berujar pelan, "Kalau Ayah nggak kasih izin, ya udah ...."

Risyad memperhatikan gerak-gerik putranya, yang tampak sangat kecewa itu. Seketika terbesit rasa bersalah dalam hatinya, tetapi mau bagaimana lagi? Ia melarang Devan seperti ini karena tak ingin terjadi sesuatu terhadap putranya itu. Ia tak mau sampai lalai seperti dulu-dulu lagi untuk keselamatan Devan. Tidak akan pernah lagi.

"Devan ke atas dulu, Yah," ucap Devan tiba-tiba, membuat Risyad tersadar dari lamunannya.

Baru saja Risyad ingin membuka mulutnya untuk berbicara, putranya itu sudah mulai menaiki satu-persatu anak tangga dengan langkah cepat menuju kamarnya. Risyad mendesah. Entah, keputusannya benar atau tidak, yang jelas ia merasa bersalah sekarang. Tak tega rasanya melihat Devan yang kehilangan semangatnya seperti itu, walaupun semua demi kebaikannya.

******

Devan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, melipat kedua tangannya sebagai bantal, sementara matanya fokus melihat ke langit-langit kamar. Sesekali, pemuda itu menghela napas panjang, seolah-olah membuat beban di pundaknya dapat berkurang di setiap embusan napas. Cukup lama berada di posisi itu, Devan kemudian memilih duduk lalu beranjak menuju lemari di hadapannya. Mengambil sebuah kotak kayu berukuran berukuran sedang yang digembok. Ia merogoh sakunya dan mendapati sebuah kunci di sana. Di mana kunci itu selalu ia bawa kemana pun ia pergi.

Setelah kotak itu terbuka, Devan meraih sebuah bola basket yang sudah lama dibelinya. Tersenyum miring sambil memutar bola itu di tangannya. "Sayang banget ya, dibeli tapi nggak pernah dimainin," ujar Devan kepada benda mati itu.

Di dalam kotak itu juga terdapat satu setel baju basket, lengkap dengan nomor punggung dan namanya yang tercetak rapi di sana. Ia menyunggingkan senyum miris, "Beneran sayang banget nggak kepake."

Sebenarnya, Devan tidak marah kepada sang ayah yang tak memberinya izin untuk kembali bermain basket. Hanya saja, ia kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri karena dia tak bisa seperti yang lain.

Devan kemudian memilih kembali menyimpan semua isinya ke dalam kotak, dan mengembalikannya ke tempat asal. Mungkin, barang-barang itu akan selalu tersimpan sampai ia tua nanti dan tak pernah dipakai?

******

Dinda mengernyitkan dahinya bingung, saat melihat suaminya yang tampak tengah memikirkan sesuatu. Ia kemudian mendekat, lalu bertanya, "Kamu mikirin apa sih, Yah?"

Risyad menoleh dan menatap istrinya itu dengan dahi berkerut tipis, "Memangnya kelihatan banget, ya?" tanyanya seperti orang bodoh.

"Iyalah, Mas." Dinda mengangguk, sebagai jawaban. "Kita sudah 18 tahun menikah, masa iya aku nggak hafal semua kebiasaan kamu?"

✔D E V A N (PINDAH KE DREAME) Where stories live. Discover now