21.Makan Siang

2.2K 203 8
                                    

Pagi ini, aku kembali pada rutinitas awalku. Hari ini tak nampak ada yang berbeda. Pak Yahsa kembali dingin seperti semula, mungkin hanya di luar sekolah ia baru akan ramah seperti saat kemah kemarin.

Aku pun masih menjaga jarak dengan Azka. Ada yang perlu aku pastikan akan hubungan dia dan Malika. Dan sepertinya aku harus mencari tau sendiri karena Azka sudah tidak jujur padaku.

"Bu, sudah jam makan siang." ujarnya sambil menunjuk jam dinding yanh ada di dinding depan yang menghadap ke arah meja kami. "Ayo makan bareng." ajak pak Yahsa.

Aku menoleh kesekitar yang ternyata sudah sepi, hanya tertinggal aku dan pak Yahsa. Dan sejak kapan pak Yahsa sudah menggendong Al?

"Ibu terlalu serius jadi tidak memperhatikan sekitar."

Aku mengusap tengkuk dengan canggung karena malu. Sebetulnya aku bukan serius bekerja, aku malah melamun memikirkan benang merah antara Malika, Azka dan Aksa.

"Ayo Bu, sepertinya dedek Al juga sudah lapar." Pak Yahsa nampak menimang-nimang Al di gendongannya.

"Mari Pak,"

Aku berjalan keluar di ikuti pak Yahsa di belakang. Sebelumnya pak Yahsa sudah bilang akan mengajakku makan di luar sekolah. Sampai di parkiran aku mulai bingung, aku tidak tau pak Yahsa bawa mobil atau motor.

Bipp....bipp...

Suara alarm mobil dari sebelah kiri membuatku menoleh. Disana, sebuah mobil honda jazz terpakir rapi dengan warna putih susu yang terlihat sangat bersih.

Sangat mencerminkan sosok pak Yahsa yang memang bersih dan selalu rapih.

Pak Yahsa membukakan pintu belakang dan menaruh Al. Aku ingin protes karena Al belum bisa duduk di jok mobil sebesar itu sendirian. Tapi langkahku terhenti di samping pak Yahsa saat ku lihat dia sedang mengancingkan pengaman di babyseat dimana Al duduk di atasnya.

"Saya pinjam punya kakak saya. Kalo itu yang mengganggu pikiran Ibu."

Pak Yahsa seolah tau kalau aku bertanya-tanya darimana ia punya barang itu, padahal aku bertanya dalam hati. Apa jangan-jangan suara hatiku bisa terdengar oleh nya? Mikir apa sih kamu Nad, ngaco aja sih!

Pak Yahsa berjalan kearah kursi pintu penumpang dan membukakan pintu untuk ku masuki. Sungguh tindakkan gentle yang pasti sangat di sukai semua perempuan.

"Jangan lupa seatbelt nya Nad."

Aku mengangguk dan memakai seatbelt. Mataku menatap kedepan tepat saat aku melihat Azka menatap tajam kearah mobil ini, atau lebih tepatnya kearahku?

Pak Yahsa mulai mengemudikan mobil dengan kecepatan biasa. Kami berbincang santai mengenai sekolah dan tugas kami masing-masing.

"Bisa saya minta sesuatu?"

"Minta apa Pak?"

"Jangan panggil saya Bapak di luar area sekolah. Saya ingin kamu memanggil nama saya. Saya ingin kita berteman."

"Tapi gak sopan kalau saya panggil nama. Kamu kan lebih tua dari saya."

"Kita cuma beda 3 tahun. Gak terlalu jauh. Lagipula saya juga seumuran suami kamu. Kalau kamu merasa gak nyaman panggil nama, kamu bisa panggil saya dengan sebutan lain."

"Hmm ... boleh juga, tapi manggilnya apa ya?"

Aku mulai memikirkan akan memanggil Yahsa dengan sebutan apa. Kalo aku panggil abang, nanti disangka abang tukang bakso. Kalo aku panggil kakak, kayaknya lucu deh.

"Gimana kalo aku panggil kak Yahsa aja? Kayaknya cocok."

"Boleh, saya juga gapapa kan manggil kamu dengan nama saja?"

"Ya gapapa lah kak. Masa aku manggil kamu kakak tapi kamu panggil aku Ibu. Nanti orang ngiranya kamu kakaknya Al." ucapku sambil terkekeh geli.

Kami sampai di sebuah kafe yang terlihat nyaman dari luar. Aku turun dan berniat menggendong Al tapi di larang kak Yahsa karena ia yang ingin menggendong Al.

Jangan pikir aku murahan karena mudah dekat dengan laki-laki. Aku memang orang yang welcome pada siapapun. Aku tidak pernah membedakan siapapun temanku. Asal mereka selalu berbuat baik padaku, maka akupun akan baik pada mereka. Karena sejak masa sekolah temanku hanya sedikit, jadinya aku akan sangat senang saat ada yang ingin dekat dan berteman denganku. Tapi tenang, aku juga masih mengingat batasanku dimana aku masih berstatus istri, atau mungkin calon mantan istri? Entahlah aku tidak tau.

Kami sudah duduk berhadapan di meja yang berada di dekat jendela. Kak Yahsa mulai membuka buku menu yang memang sudah di letakkan di atas meja.

"Kamu mau pesan apa?" tanya kak Yahsa.

Aku masih membolak balik buku menu sambil berpikir.

"Kayaknya ayam bakar enak deh."

"Yaudah bentar."

Kak Yahsa memanggil pelayan dan mulai memesan saat pelayan itu sampai di samping kami.

"Ayam bakar madu 2, minumnya es teh, sama puding buahnya 3."

Si pelayan mulai mencatat dan bilang pesanan akan datang 10 menit lagi, sebelum pergi meninggalkan meja kami.

Aku mulai mengeluarkan termos kecil berisi bubur Al yang memang aku bawa dari rumah. Aku sibuk menyiapkan makanan Al sementara kak Yahsa mengajak Al bercanda.

Aku dengan telaten menyuapi Al yang memang selalu lahap saat makan. Pesanan sudah datang tapi aku menyuruh kak Yahsa makan duluan karena aku masih tanggung menyuapi Al.

Selesai menyuapi dan mengelap mulut Al. Aku kira kak Yahsa sudah makan, tapi ternyata dia menungguku. Kami makan dengan hening, hanya terdengar suara Al yang berceloteh girang dengan mainan di tangannya.

"Sini biar saya yang suapi Al puding." ucap kak Yahsa saat kami selesai makan.

Al yang memang seorang tukang makan, langsung girang dan tertawa bahagia saat disuapi lagi. Sementara aku sedikit merapihkan dandanan yang aku kenakan. Hanya memoles lipstik ulang dan selesai.

Kami kembali mengobrol sebentar menikmati suasana kafe ini sebelum pulang. Kalo kata orang dulu, kami ini lagi nurunin nasi.

"Waww.. Makan siang keluarga yang hangat ya?!" ucapan bernada sinis itu terdengar dari seseorang yang berada di sampingku. Aku dan kak Yahsa sama-sama menoleh. Dan aku terkesiap melihat siapa yang ada dihadapanku saat ini. Emosi ku langsung naik ke ubun-ubun. Tapi aku tidak ingin bertindak bodoh di tempat ramai seperti ini. Jadi, aku memilih tak mengacuhkan dia.

Aku mendengar suara tepuk tangan ringan darinya.

"Hebat ya! Suami selingkuh eh istrinya gak mau kalah selingkuh juga." tudingnya sarkas.

Aku mendengus. Dia membuatku benar-benar tidak bisa menahan emosi. Sepertinya memang dia harus ku ajak bicara agar diam.

"Kak. Bisa tunggu dimobil? Aku perlu bicara dengan sosok disebelahku."

Aku melihat raut bingung di wajahnya. Aku mencoba mengajaknya bicara lewat tatapanku, dan sepertinya dia mengerti.

"Dedek ikut om yuk. Kita jalan-jalan naik mobil." ucap kak Yahsa pada Al. Dia menggendong Al dan pergi dari sini.

Well, sepertinya waktu berperang dimulai.



Hayo siapa yang di yang gangguin makan siang Nadine??
Ada yang bisa tebakk??

Jakarta,25 Agustus 2018

This Time ✔ (SEDANG REVISI)Where stories live. Discover now