About Him - [6]

35.6K 5.2K 179
                                    


Nonton acara makan-makan memang yang paling bener, menggugah selera meskipun juga berpotensi memupuk rasa iri. Gimana nggak, udah jalan-jalan, makan-makan siapa yang nggak demen?

Duo Bos di sampingku masih anteng tidur sambil berpelukan. Nggak apa deh, sekali-sekali hidupku diisi dengan kedamaian lahir batin.

Aku masih asyik-asyik nonton dengan nada rendah ketika Ibu coba memanggilku dengan nada nggak kalah rendahnya. Keningku mengerut, kemudian beranjak duduk. Ibu mengarahkan telunjuknya, mengode, kontan saja aku langsung menoleh ke sebelah.

Sama seperti Ibu yang senyum-senyum setengah menahan ketawa, aku pun melakukan hal yang sama, melihat Aca dengan wajah polos, bingung, lucu, menatap Mas Abram di hadapannya. Bahkan tubuhnya terlihat kaku, antara pengin lepas tapi nggak bisa.

Ibu melangkah ke dapur. Sedangkan aku masih menunggu, berapa lama Aca bertahan, bahkan kakinya sudah menggeliat.

“Ma...” suara serak, pelan itu akhirnya keluar. “Pipis.”

Oke, aku nggak mungkin tega menyiksa Aca lebih lama, meskipun sebenarnya aku demen banget liat ekspresinya yang begitu. Pengen cium pipi gembilnya. Jujur dari kecil aku cuma bisa puas ciumin Aca pas dia lagi tidur, karena kalau nggak jangan harap dia mau kucium. Kata Ibu, aku bukan nyium, tapi gigit. Nggak lah, aku kan gigit gemas.

Aku menarik lengan Mas Abram pelan dari tubuh Aca, bermaksud nggak membangunkannya. Baik hati kan aku?

Kemudian menarik Aca untuk berdiri, belum sempat aku menarik Aca ke kamar mandi—

“Mas, awas!” aku memekik, niatnya nggak mau bangunin sekarang aku malah dorong tubuh Mas Abram kuat. Dia yang tersentak langsung bergeser.

Dan dihadapanku mengucur air kencing Aca yang berdiri dengan kaki mengangkang. Nggak sampe sedetik ketika dia melirik ke Mas Abram, tangisnya langsung pecah.

Mas Abram terbengong, “Kenapa?”

Aku nggak jawab. Tangisan Aca makin kencang. Ibu tergopoh-gopoh datang dari arah dapur.

“Kamu cubit Aca ya?” tuduh Ibu.

Mas Abram menaikkan alisnya. “Benar?”

Aishh... aku memutar bola mata. Kenapa dimana-mana aku jadi tertuduh. “Aca pipis di celana. Dia malu diliatin Mas! Bukan aku cubit!” sahutku menggendong tubuh Aca segera ke kamar mandi.

***

“Udah ah nangisnya, ini bedaknya ilang lagi,” kataku sambil menyisiri rambut Aca yang masih sesenggukan. Mandi lagi, keramas lagi, nasibmu Ca. Nggak ada hubungannya ke rambut sih, tapi bau keringat, ya jadi sekalian aja aku guyur. Hehe.

Tapi, kali ini bukan cuma Aca yang mandi, aku juga ikutan, abis bajuku juga kena pipis.  

Aku menoleh saat pintu berderit. Nggak butuh waktu lama untukku tahu siapa yang masuk. Dan sebagai imbasnya tubuhku malah ditubruk Aca sampe terduduk.

“Aca, jangan gini ah, Mama kecekik ini!” kataku yang tentu aja nggak digubris Aca. Kayaknya ini anak malu berat.

Dengan susah payah aku menggendongnya, dan terduduk di pinggir ranjang. Sementara Aca nemplok persis kayak anak koala.

Mas Abram masih berdiri di ambang pintu.

“Itu Papa, tadi nyariin Papa,” godaku. Bukan semringah seperti biasanya Aca malah makin mengeratkan cengkramannya di kausku.

Mas Abram mendekat, ikut duduk di pinggir ranjang. Dia diam. Pasti bingung mau ngapain. Dan, jangan harap akan ada kalimat rayuan yang keluar dari mulutnya.

About Him? Sucks!Where stories live. Discover now