About Him - [13]

33.3K 5.1K 255
                                    

Aku yang sedang berada di kubikel langsung mendongak saat Mbak Ira menghampiri. Padahal barusan aja aku lewatin mejanya, “Eh, aku kelewat sesuatu ya. Tampangmu belakangan hari ini sepet pas keluar dari ruangan si Bos. Dinyinyirin apaan?” Mbak Ira ini sekretarisnya Bos, otomatis dia liat kalau aku keluar-masuk ruangan Bos—yang sangat aku hindari kalau nggak ada keperluan yang mendesak aja.

Cath menggeser kursi berodanya, hingga mendekat ke arahku. Tampang kepo rekan kerjaku ini bukan sebagai bentuk kepedulian, tentunya. Tapi, penasaran karena ketinggalan gosip.

“Masalah libur. Nyindir gitu deh,” kataku malas. Nggak mungkin membeberkan semuanya. “Sekarang omongan dia gue iya-iyain aja pokoknya. Lagian bentar lagi capcus dari sini.”

“Eh, iya, kok lo belom ajuin surat? Mau kapan lagi? Katanya bulan depan,” potong Cath.

Aku memasang senyum miring. Mencoba memanas-manasi, “Disitu ngajuin surat besoknya gue kabur, nggak masuk,” kataku yang langsung disambut keplakan Cath.

“Anjir banget itu mulut. Mbak pokoknya kita jangan keliatan multitasking banget. Ntar Si Bos malah nggak mau cari ganti Ola.”

“Tenang aja. Si Ola nggak ngajuin surat. Aku yang bakal buatin, tinggal palsuin tanda tangan gampang.”

Mereka langsung adu tos. Aku menyipitkan mata. Asem deh. Padahal emang aslinya aku bakal minta Mbak Ira yang buatin, tapi karena mulut nyinyir si Bos aku jadi males ngurus gini-ginian.

“Eh, Cath. Ketahuan kamu ya, komen pake akun asli.”

“Dimana?” tanyaku spontan. Semalam aku tidur lebih awal, jadi nggak sempat pelototin sosmed.

“Ya dimana lagi?” sahut Mbak Ira.

Ohh... akun lambe-lambean. Cath ini memang netizen sejati kayaknya, kalau niat mau komen dia bakal aktifin akun bodongnya, terus adu pendapat deh bareng netizen lainnya. Dari dulu, Cath memang vokal menyuarakan pendapat, meskipun pendapatnya cenderung berbeda dari kebanyakan.

Cath menyengir malas. “Kelepasan gue. Bikin video klarif tapi gaje banget. Ngomong plintat-plintut. Mana bilang baterai lowbat, jadi batlow. Dia kira sodaranya batman!”

Keningku mengerut, bingung. “Bahas siapa sih?”

“Itu lhoo... yang kemarin sok sok-an bikin snap di kamar hotel bareng sesevokalis.”

Aku langsung memutar mata. “Nggak penting gitu lo ladenin,” sahutku. 

“Btw, gue lupa cerita, kemarin itu ngabisin tiga cangkir kopi buat balesin komenan masalah Sule sama istrinya. Bayangin aja. Kalau cowok yang selingkuh, pasti tetap ada komenan, salahin istrinya yang nggak jago rawat diri, atau oh, emang lakinya doyan jajan. Kesannya kayak membenarkan prilaku si laki. Dan herannya yang komen itu ya cewek. Miris kan? coba kalau istri yang selingkuh, wah... udah pasti bersatu-padu menghujat!” mata Cath berapi-api. “Padahal kan mungkin aja memang rumah tangganya nggak harmonis. Suami nggak pengertian, sama-sama egois, etc. Pas ketemu yang buat lebih nyaman, segala sesuatu bisa terjadi dong...” lanjut Cath.

“Gue cuma argumen gitu, eh malah banyak yang nyamber. Banyak yang bilang gue belain kelakuan seseistri, padahal udah kebukti seseistri selingkuh. Lha, gue nggak bilang dia nggak selingkuh kan? Gue juga bilang mungkin karena ketahuan selingkuh itu si istri jadi ngotot minta cerai, sekalipun si Akang katanya udah maafin. Yang begitu itu yang menurut gue punya rasa malu. Dia tahu salah, makanya dia yang mundur. Tapi gue malah dituduh belain pelakor. Gue liat udah jam empat pagi, nggak gue bales lagi, lebih serem kena nyinyiran Pak Bos kalau gue telat.”

“Ya sebenernya mau laki atau istrinya yang selingkuh nggak ada yang bisa dibenarkan,” mbak Ira berkomentar. “Dan memang ujungnya tetap wanita dalam posisi tersudut. Kalau cowok selingkuh berapa kali, tetep aja ada cewek yang mau. Kalau cewek gonta-ganti pasangan, yang ada disangka pecun.”

About Him? Sucks!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang