ordeal: 5

4.8K 675 11
                                    

Jika ditanya hal apa yang membuatnya kesal, Jimin tentu saja memiliki banyak sekali pilihan dan akan menyebutkannya dengan mudah. Tapi jika yang ditanyakan adalah kebalikannya, mungkin Jimin akan mempertimbangkannya lebih lama sebelum menjawab.

Lain lagi ketika sedang bersama keluarganya dan juga Yoongi, Jimin bisa menjawabnya dengan santai. Sesederhana menghabiskan dan menikmati waktunya bersama mereka. Dan itu cukup mengembalikan semangat Jimin untuk bekerja keesokan harinya.

Setelah mendapat libur pendek yang berlangsung hanya selama tiga hari, Jimin sudah dibuat pusing lagi oleh kliennya yang ternyata masih belum merasa puas. Kali ini ditemani Yoongi atas dasar setengah pekerjaan dan setengah kerinduan--saat libur, Jimin hanya menggunakan hari pertamanya untuk bertemu Yoongi.

"Istirahat dulu, Jim."

Jimin hanya mengangguk mendengar suara berat Yoongi.

"Udah masuk jam makan siang ini."

Karena mata Jimin masih menatap pada selembar kertas yang dihiasi coretan-coretan pensil, Yoongi langsung berinisiatif memesan makanan kesukaan Jimin. Dengan yakin dan tanpa bertanya.

Hingga dua puluh menit setelahnya, bertepatan dengan datangnya makanan pesanan Yoongi, Jimin berhenti menghadapi neraka sesaatnya. Mengisi perut dan merilekskan pikirannya dengan candaan-candaan ringan dari Yoongi.

"Sorry ya, kak. Jadi sia-sia lo dateng ke sini." Benar. Jimin terlalu fokus mengejar sedikit ketertinggalannya. Padahal dia sendiri yang meminta Yoongi datang untuk mendiskusikan pelebaran butiknya.

"Ga papa, Jim. Kita bisa bahas itu di luar jam kantor kalo lo mau."

Jimin berpikir sebentar. "Malem ini abis gue tutup butik gimana?"

"Boleh." Yoongi kembali menghabiskan makanannya. "Gue yang jemput atau gimana?"

"Gak usah. Gue minta anter supir aja."

"Oke. Kalo gitu gue pergi ya."

Jimin mengantar Yoongi ke depan pintu kantornya. Desain yang belum selesai itu harus segera dijamah kembali.

***

Taehyung mengunjungi rumah Jimin sepulangnya dari kantor. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, itu artinya sudah sekitar satu jam Taehyung menunggu di sana. Mama Park bahkan sempat menyuruh Taehyung untuk menunggunya di kamar Jimin, namun ditolak seakan tahu akan seperti apa si kecil itu jika daerah pribadinya diinjak tanpa izin.

"Jiminnya udah ditelfon kan, Tae?" Mama Park bertanya untuk kesekian kalinya, memastikan anaknya itu agar tidak benar-benar keterlaluan.

"Udah, ma. Katanya sebentar lagi nyampe." Senyuman manis yang Taehyung lempar membuat Mama Park semakin tidak enak hati.

"Lagian kamu tumben tiba-tiba mampir ke sini. Apa ada hal penting yang perlu diomongin sama Jimin?"

Taehyung menggaruk tengkuknya pelan, menyengir dan menunjukkan senyum khasnya. "Gak ada sih, ma. Cuma kangen, hampir seminggu gak ketemu."

Dipandang dengan tatapan lembut membuat Taehyung sedikit merasa bersalah. Andai saja calon mertuanya ini tahu apa yang dilakukan Taehyung dan Jimin di belakangnya, pasti bukan tatapan seperti itu yang akan diterimanya.

"Ya udah. Mama istirahat duluan, ya." Mama Park bangkit dari sofa di sebelah Taehyung, "Kalo kamu cape, pulangnya besok pagi aja. Minta Jimin siapin baju ganti sama tempat tidur."

"Siap, ma."

Lalu Taehyung ditinggalkan dengan mata berat menahan kantuk. Kali ini memang salahnya karena datang tanpa mengabari Jimin. Dan kenyataan bahwa Jimin tidak langsung pulang ke rumah--tidak seperti biasanya--membuat Taehyung sedikit penasaran.

Sepuluh menit lainnya Taehyung habiskan dengan menonton film action, ditemani segelas kopi yang dibuatkan Bibi Yang, salah satu pelayan di rumah Jimin.

Suara mesin mobil terdengar dimatikan, digantikan dengan suara pintu yang dibuka lalu ditutup diikuti Jimin yang akhirnya mendudukkan diri di sofa, di sebelah Taehyung.

"Hey, Jim."

Gumaman menjadi jawaban. Jimin jelas terlihat lelah. Moody Jimin sebenarnya bukan yang ditunggu oleh Taehyung. "Tumben, ada apa?"

"Kamu gak kangen apa sama aku? Tunangan sendiri?"

Sontak pertanyaan itu membuat si kecil melirikkan kepalanya. Menatap aneh pada tunangannya. "Apaan sih?"

"Tsk." Taehyung mendecak sebal, sudah tahu jawaban yang akan diberikan Jimin tapi tetap saja itu membuatnya sedikit kesal.

Selebihnya hanya obrolan-obrolan ringan yang mereka bicarakan hingga tengah malam. Tanpa mereka sadari, Jimin tertidur masih di tempat yang sama juga dengan pakaian yang masih sama. Taehyung bingung, haruskah dia hanya memindahkan Jimin ke kamarnya? Tapi bisa saja besok pagi Jimin mengomelinya karena make up dan badannya belum dibersihkan. Atau haruskah Taehyung membangunkan Jimin dan menyuruhnya mandi dulu? Tapi Taehyung tahu, jika begitu, Jimin hanya akan semakin kelelahan karena insomnianya. Taehyung ini meskipun berengsek masih peduli pada orang-orang terdekatnya.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Taehyung memutuskan untuk memindahkan Jimin ke kamarnya, lalu membersihkan make up-nya di sana. Tidak peduli dengan nasibnya besok pagi. Setidaknya dia sudah berbaik hati dan sedikit mengurangi kesalahannya.

***

Paginya, setelah omelan Jimin, Taehyung menuruni tangga dan berjalan ke arah ruang makan. Tentu setelah dipanggil oleh calon mertuanya. Mereka sarapan bersama diiringi dengan perbincangan ringan seputar bisnis antara Tuan Park dan Taehyung.

"Oh iya Jim. Kamu tau kan Papa buka cabang baru di Belanda?"

Jimin menatap sang papa dan mengangguk. "Kenapa?"

"Rencananya dua minggu lagi perusahaan itu bakal diresmiin." Tuan Park kemudian melirik Taehyung, "Kosongin jadwal kamu di minggu ketiga bulan ini ya, Tae." Lalu kembali menatap anaknya, "Kamu juga, Jim."

"Baik, pa." Kalau Taehyung sudah menyanggupi, Jimin pastilah harus mengikuti. Bukan karena dia adalah calon suami penurut, dia sudah sering menentang Taehyung dan berakhir diceramahi oleh kedua orang tuanya. Maka dengan pasrah, sekarang dia hanya bisa mengikuti Taehyung.

***

Sementara Jimin dan Taehyung berangkat bersama, Papa dan Mama Park masih bersantai di ruang keluarga.

"Kamu yakin, pa?"

"Iya. Jimin kalo gak dipaksa deket sampai kapan pun bakal cuek kayak gitu."

"Tapi.... apa gak keterlaluan?"

Tuan Park menaikkan alisnya mendengar pertanyaan istrinya, "Keterlaluan?"

"Iya."

"Bikin mereka ada di satu kamar keterlaluan, hmm?" Tuan Park mengerling nakal, membuat pipi istrinya merona merah. Pertanda malu dan salah tingkah. "Tenang aja, ma. Kamu tau persis Jimin seperti apa. Dengan dia yang dingin dan cuek, gak mungkin juga Taehyung berani macam-macam. Jimin itu galak."

Obrolan pagi itu diakhiri kekehan keduanya sebelum Tuan Park memutuskan untuk berangkat ke kantornya. Mengurusi tumpukan berkas dan mengoreksi kesalahan-kesalahan untuk mempertahankan bisnisnya. Juga mempersiapkan segala hal sebelum ditinggalkannya ke Belanda.

[COMPLETED] ordeal • kth × pjmWhere stories live. Discover now