Kamu tidak seharusnya menggoda doktermu, Adrian

6.1K 127 6
                                    

First session.

Dokter Ligwina Barika menghela napas panjang. Matanya tidak berhenti memandang sosok pria tampan yang kala itu membalas tatapannya. Bukan pertama kalinya sebagai terapis kognitif Wina menghadapi pasien yang memiliki emosi yang tinggi, atau bahkan yang diam namun memiliki pikiran yang terpendam. Dan kebanyakan dari pikiran mereka bukanlah hal yang baik.

Lain dengan pasiennya yang satu ini. Pasien ini sama sekali tidak terlihat kesal, ataupun marah ketika ia dibawa adik iparnya ke tempat praktek Dokter Wina yang tak lain di rumah dokter itu sendiri. Sangat bertolak belakang dengan pendapat adik ipar pria itu yang tidak lain teman Wina, Ario. Ario mengatakan, kakak iparnya ini memiliki emosi yang sangat labil ketika ada momen di mana ia tidak diberi kesempatan untuk berjudi. Namun yang dihadapi Wina bukan sosok pria pemarah. Justru pria ini tersenyum padanya.

"Adrian Agraprana," Wina memulai pembicaraan. "Ario told me that you're kind of family-oriented man. Would you mind to tell me about your sister, Sofia? He also said that you love your sister so much."

"Yeah, I am. Sofia used to be a pianist, but she got to quit from her profession in order to take care of her own family. She's pregnant baby number two now. But, I don't think it matters to you to know how Sofia is..."

"Why?"

"Really?" Adrian tergelak, namun tidak membuat Wina bingung. Ia bersikap tenang menghadapi pasiennya ini. "Karena saya tahu ke mana perbincangan ini berjalan. Pada akhirnya Anda akan bertanya, kalau sayang pada adikmu dan dia sedih melihatmu berjudi, mengapa masih melakukannya?" Senyum Adrian melebar. "Let me tell you something, there are lot people who already said that."

"Begitu?" Bibir Wina mengembangkan senyum. "Itu yang akan saya lakukan? Lalu apa lagi yang saya pikirkan?"

"Malang sekali pasien ini, memiliki keluarga yang bahagia, namun tidak bisa meninggalkan sisi gelapnya yang suka menghambur-hamburkan uang, sementara banyak hal yang bisa dilakukannya, seperti menabung untuk rumah tangga, pendidikan untuk anak-anak.... Oh, Dokter, saya rasa saya tidak membutuhkan terapi ini."

"Saya tidak tahu kamu sudah menikah."

"Kalau sudah, Dokter akan bertanya mengenai istri saya?" Adrian menggeleng. "Belum, Dok."

"Punya pacar?"

"Oh, Dokter, tahukah cara Anda bertanya seperti Anda sedang flirting saya?" Sekali lagi Adrian menggeleng dengan bibirnya mengukik jail. "Belum, Dok, belum. Sama sekali tidak ada pikiran untuk memiliki pasangan untuk saat ini. Bagi saya pekerjaan saya saja yang saya sukai."

"Dan meja judimu."

"Tentu saja saya menyukai wanita," sahut Adrian tanpa merasa tersinggung. "Tapi untuk mengikrar janji dengan mereka? Buat apa? Kebanyakan dari mereka hanya menginginkan suami yang kaya, punya karir yang baik, yang bisa memanjakan mereka... Ah, there's no point of being a husband, Doctor."

"Ya, Ario juga mengatakan kamu punya pengalaman yang pahit dengan seorang wanita. Namanya...."

"Amanda," sela Adrian menahan kegeramannya. Bayangan wanita mungil berambut pendek itu menghampiri benaknya. Mantan kekasihnya sungguh mengagumkan. Tapi semua kenangan manis itu musnah ketika Adrian teringat pada hari ia menemukan Amanda dengan pria lain di ranjang wanita itu. "Bagi saya pelacur itu sudah mati. Kalau saya memiliki kesempatan hidup lagi, saya tidak pernah ingin mengenal wanita murahan itu."

"Bagaimana kamu bisa mengenal Amanda?"

Adrian sempat meragukan dirinya untuk bercerita lebih lanjut tentang masa lalunya. Tapi melihat ketenangan Dokter Wina, dan betapa teduhnya wajah cantik itu... Tak kuasa Adrian menceritakan kisah cintanya dulu, "Hm, dari mana saya harus memulai, Dok? Tempat langganan saya berjudi memiliki dua lantai. Lantai dasar diisi oleh bar disertai pertunjukan tari erotis, dan lantai dua adalah tempat berkumpulnya penjudi kelas kakap... Saya tidak bisa bilang saya kelas kakap dalam hal berjudi, tapi saya tidak bisa mengatakan saya tidak baik dalam bermain poker. Yahhh...." Adrian menghela napas panjang ketika sosok Amanda yang tersenyum sedih padanya, melingkarkan tangannya di lehernya, dan wanita itu pergi tanpa menoleh lagi padanya. "Tidak, Amanda bukan salah satu penari erotis. Dia adalah simpanan Charles Jacob, pemilik tempat maksiat itu. Suatu hari dia datang pada saya dengan air mata berlinang. Jacob meninggalkannya demi istri dan anaknya, dan tak lama setelah itu tempat judinya juga tutup."

My Favorite Doctor {COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang