Semua nya Terputar Dalam Satu Malam

60 0 0
                                    

"Kalau aja gue bisa terbang, gue bakal ke Eleven Club tiap malem tanpa harus sibuk izin sama si brengsek itu" gumamnya.

Dituangnya segelas lagi Chivas yang ada dihadapannya kemudian meneguknya pelan-pelan. Ia meremas dadanya dan menangis sejadi-jadinya . Perasaan nya campur aduk. Fantasi berputar layak nya piringan hitam yang  memutar lagu klasik. Disela-sela isaknya ada sebuah pertanyaan yang masih dicari jawabannya "mengapa gue dilahirkan"?
**
Sebagai salah satu dari banyaknya orang yang menderita ia mengaku sangat sekali ingin bergabung dengan kumpulan orang-orang susah jika di dunia memang ada yang seperti itu atau kalau bisa mengajak bersenang-senang dengan kumpulan orang-orang susah dengan menikmati party di Eleven X tiap malam.

Ia terkekeh, baginya chivas yang diteguknya menjadi bagian favorit cerita nya malam ini. Di dunia nyata mendapatkan kesenangan sangat sulit dan butuh pengorbanan yang lebih apalagi bagi kaum elit global yang paham mengatur hidup yang lebih baik. Ia tak paham, tapi konon begitu kata orang menderita.

Ia tahu problem sesungguhnya bukan terletak pada hidupnya yang brutal bukan juga kepada Juni Tobing dan Clarissa Abraham dua sahabat karibnya. walaupun merekalah yang mengajarkan hidup bebas dan menyelam ke dunia gelap dan hitam tetapi , ia paham hidup butuh bumbu dan warna idealnya psikologis dan sosial.

Kamar apartemen nya benar-benar terasa panas dan gersang. Ia belum peduli, matanya panas dan berair. Dari bawah jendela ia melihat lampu-lampu kuning berkelap kelip dijalanan, bulan purnama mengambang diatas langit , juga awan yg seolah berlari-lari lincah di paparan awan yang berwarna perak.

Ia meneguk sekali lagi.
Ia tidak pedul berapa banyak orang yg ia kecewakan. Belum lagi sanak family yang di New York. Soal itu tak pernah tahu, persetan katanya. Yang ia khawatirkan adalah jika ia tahu aku bercerita padamu empat mata, ia tak begitu dipermasalahkan.Tapi, masalah nya lain jika kau tak pernah mencoba menutup mulut mu yang ember itu. Toh, masalah mu dan masalahnya juga harus diselesaikan masing-masing, dengan kepala yang dingin.

Cuaca mendingin, ia mengambil sweater yang tergantung di kapstok balik pintu kamar. Sweater kesukaan nya, warna biru muda. Yang ia beli ketika ia menemani Juni Tobing interview kerja di Kota Pahlawan setahun lalu. Ia mencium bau di sweaternya , ada bau badan nya yang becampur dengan parfum Green Tea de Cologne yang sengaja tidak dicuci nya berbulan-bulan.

Ada yang aneh.
Ia sendirian, penuh peluh dan dendam yang menggumpal di dada. Neneknya bilang, jangan pernah menyimpan dendam dan benci berlarut-larut nanti malah takut, takut ada cinta . Ia mengulang lagi perkataan neneknya waktu itu. Namun tetap saja cinta memang tak ada disitu, cinta kadang lalai untuk datang menemani sepi, yang ada benci sepetak hadir menumbuhkan benih-benih dendam yang suatu saat akan berbuah.
"Cih... lo aja kemana waktu gaada gue..?" Ia bermonolog.

Tirani (Kumpulan Cerpen)Where stories live. Discover now