Bagian - 2

125K 4.5K 159
                                    

''Sial!!" Irfan berhenti mendadak hingga membuat orang yang berjalan di belakang menubruk punggungnya dan mengumpat.

"Apa lagi?"

"Aku lupa minta nomor HP cewek itu," Irfan menoleh ke belakang sambil menggerutu. Pintu kelab yang baru saja mereka datangi sudah tertutup, di dalam sana ada gadis yang menarik perhatiannya.

Arfan, kembarannya, memukul kepalanya. "Kupikir apa, kampret. Besok kau masih bisa ke sini lagi, selama datang ke kelab itu gadis incaranmu itu selalu ada, berarti dia pelanggan tetap di sana. Nggak usah macam orang kekurangan cewek kau."

"Tapi aku sudah merencanakan akan meneleponnya malam ini." Irfan mengusap kepalanya, menatap tajam Arfan.

"Salahmu tukang lupa."

"Anak-anak," Rega menyandarkan sikunya di pintu mobil. "Cepat masuk, sebelum papa menendang bokong kalian berdua." Mempunyai sahabat kembar yang selalu bertengkar membuat hari-harinya berwarna sekaligus membuat kepalanya pusing.

"Apa sih yang kalian tengkarkan?" Rega menatap kedua temannya itu. Irfan duduk di belakang dan Arfan di sampingnya.

"Si Irfan naksir cewek berdada besar tadi, karena dia lupa minta nomor itu cewek, dia berhenti mendadak sampai membuat kepalaku sakit terkena punggungnya."

"Kau berlebihan, kepalamu saja yang lembek macam agar-agar."

"Kepalaku lembek tapi nggak pelupa macam kau."

"Oke. Oke," Rega menengahi, ia mengangkat kedua tangannya di udara. "Kita pulang sekarang anak-anak, berhenti memperebutkan permen."

"Aku bukan anakmu, sialan," seru Irfan dari belakang.

Rega menyalakan mesin mobilnya. "Jadi berhentilah berperilaku seperti bayi besar." Dia berhenti  memundurkan mobilnya saat ada mobil yang masuk, hampir saja mobil abangnya lecet. Mobil yang mereka pakai saat ini adalah mobil Eben, abangnya. Eben sedang di luar kota dan Rega meminjamnya; tanpa sepengetahuan Eben. Ada tiga mobil di rumah Eben, Rega tahu di mana abangnya itu menyimpan kunci-kunci mobilnya.

"Besok kita ke sini lagi, kan?" Irfan memajukan kepalanya, melihat Rega dengan wajah penuh harap.

"Aku nggak tahu, tadi siang bang Eben meneleponku. Dia marah besar." Setelah memastikan jalanan kosong, Rega melajukan mobilnya. Tempo hari dia merusakkan mobil temannya. Dia tidak bisa membayar biaya perbaikannya, terpaksa dia mengirim tagihannya pada Eben. Jumlahnya tidak sedikit.

Karena libur kuliah mereka bertiga memutuskan liburan ke Medan. Jakarta terasa semakin sesak sekarang ini, kebetulan Eben sedang tidak berada di Medan, ia bermaksud bersenang-senang di kota kelahirannya itu.

"Jadi kita bagaimana?" Arfan menghidupkan musik, menyetel suaranya sepelan mungkin. "Kuliah masih lama masuk, masak kita langsung pulang."

"Semoga bang Eben nggak mempersingkat perjalanan bisnisnya, dia kalau sudah marah nggak main-main." Rega menghela napas. Dia menghormati abangnya, tahu dia memang sering merepotkan, tapi entah kenapa dia tidak bisa berhenti membuat abangnya itu marah. Selalu ada kesalahan yang dilakukannya. Sejak kedua orang tua mereka meninggal, Eben yang bertanggung jawab atas semua. Atas bisnis keluarga dan adiknya, Rega.

"Tapi kamu masih saja memancing dia marah," Arfan terkekeh. "Sudah berapa kali bang Eben yang harus menyelesaikan masalahmu."

Usia Rega dan Eben terpaut 8 tahun. Rega 20 tahun dan Eben 28 tahun. Jarak usia yang jauh tersebut membuat Eben protektif padanya.

"Sudah nggak terhitung," Rega mengakui. Dari masa SD sampai kuliah, Eben menjadi super hero-nya.

"Kayaknya aku mabuk," terdengar dari belakang Irfan bergumam. "Padahal aku cuma minum satu botol."

Mine (Play Store)Where stories live. Discover now