Bagian - 10

66.5K 4.2K 379
                                    

Irfan, Arfan dan Rega keluar dari ruang kerja Eben. Setelah menahan napas hampir dua puluh menit akhirnya mereka bebas, Eben menyuruh mereka pergi.

Rega menyunggingkan senyuman. "Rencana kita berhasil. Walaupun harus mendapat dampratan bang Eben. Tapi akhirnya dia pulang. Lebih cepat dari perkiraanku."

"Sukses, bro," Arfan menimpali. "Tadi waktu bang Eben nyampe rumah, wajahnya seram banget. Dia langsung masuk ke kamar si Mey, terus nggak keluar-keluar." Dia pun ikut tersenyum, lebih lebar dari senyuman Rega.

Sedangkan Irfan cemberut. "Kayaknya hanya aku yang nggak bahagia di sini."

Rega tampak bersimpati pada sahabatnya yang satu itu. Dirangkulnya bahu Irfan. "Sudahlah, masih banyak gadis lain. Biarkan Mey dengan bang Eben."

Irfan menghela napas dengan dramatis. "Aku terpaksa."

"Jangan manyun begitu," Rega memiting kepala Irfan. "Nanti malam kita ke kelab. Kita cari gadis yang kau sukai kemarin."

"Aku nggak yakin dia masih di sana," Irfan menjauh dari pitingan Rega. "Berhenti membujukku, Ga. Aku udah terlanjur suka sama Mey."

"Tapi dia nggak suka kau," sergah Arfan terus terang. "Dia sukanya sama bang Eben."

"Kau tahu dari mana?"

"Yah tahu lah, cuma kau yang nggak tahu." Arfan menghindar dari pukulan Irfan, dia terkekeh dan lari menjauh.

Rega menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin setelah langit dan bumi menyatu baru kedua kembar itu bisa akur. Daripada melihat adu mulut teman-temannya, Rega memilih melanjutkan rencananya.

Mey sedang merapikan dapur ketika Rega masuk ke sana. Mey bertubuh mungil, berambut panjang dengan wajah lembut yang cantik. Tidak heran Eben langsung suka pada gadis itu. Mungkin gadis seperti Mey lah yang diinginkan Eben. Selama ini perempuan-perempuan yang berada di dekat Eben bertubuh tinggi, berpayudara besar dan berbokong palsu, bahkan kebanyakan dari mereka berwajah palsu. Tapi Mey tidak. Dan Mey gadis polos yang manis. Siapa sangka, kepolosanlah yang ternyata mampu membangun suatu perasaan di dalam hati Eben.

"Mey?" Rega menghampirinya, dengan lengan di saku dia memandang Mey.

"Iya?" Mey mendongak dari meja yang dia bersihkan. "Kenapa, Ga?" Tadi Mey mendengar Eben menyuruh Rega dan temannya ke ruang kerjanya. Mey tahu bagaimana Eben kalau marah. Melihat Rega sedang tersenyum sekarang, itu berarti Eben tidak terlalu marah. Mey lega.

Rega berdehem. "Bang Eben minta dibuatkan kopi.''

''Sekarang?" Mey meletakkan kain lapnya.

"Dia bilang secepat yang kau bisa.''

"Oh," Mey melepas apronnya. "Eben suka kopi seperti apa?" Diambilnya gelas, lalu diletakkannya di meja, Mey menunggu jawaban Rega. "Apakah dia suka yang manis, atau---"

''Buat saja yang kau suka, bang Eben pasti menghabiskannya," Rega terkekeh membayangkan wajah Eben ketika Mey membawa kopi ke ruang kerja pria itu. Padahal Eben tidak meminta Mey melakukannya. Eben tidak suka kopi setelah sarapan, Rega ingin tahu mungkinkah Eben menolak kopi yang akan dibuat Mey.

"Kamu yakin?" Mey terlihat ragu.

Rega mengangguk. "Seyakin aku tahu namaku."

"Baiklah," Mey tersenyum cerah. "Kamu mau kubuatkan juga?"

"Nggak usah. Aku bisa buat sendiri kalau pengin."

Beberapa saat kemudian kopi untuk Eben sudah siap. Mey meletakkannya di nampan kecil. Sebelum mengetuk pintu ruang kerja Eben, ia merapikan rambutnya. Mey mengenakan gaun rumahan sederhana berbahan katun warna pastel. Mey mengetuk tiga kali kemudian terdengar suara berar Eben dari dalam mempersilahkannya masuk.

Mine (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang