cerita,

2.5K 221 28
                                    




                 

Mereka punya cerita;

Sekelebat suasana waktu malam Minggu. Berlatar suara rinai hujan yang menari dalam gerimis. Percikannya menggoda; menari nakal menyentuh sebagian kulit yang sekilas terbuka.

Angin berhembus sesekali—rasanya dingin-dingin menuju nikmat ketika dinikmati bersama sang pujaan hati. Ditemani lantunan lagu dari nyanyian para pasukan kodok yang ceria sekali lompat kesana-kemari.

Sekilas Jimin melirik, wanitanya cuma bisa tertawa kecil melihat si binatang hijau kecil saling melompati.

"Jung,"

Jimin memanggil, nadanya halus. Sedikit menyinggung lengan wanitanya yang hanya berbalut selembar baju kaus tipis warna abu-abu.

Jimin yang punya. Dulu.

Wanitanya cuma balas mendengung, kemudian menoleh sekilas. Dan Jimin jadi beralih kian tersipu begitu mendapati kelam netranya mengerjap cantik di bawah cahaya bulan yang sedikit terbias air hujan.

"Hadap sini, jangan ke kodok terus."

"Kodoknya lucu."

"Lucu mana, kodok apa aku?"

"Mau disamain sama kodok?"

"Asal diperhatikan, gak masalah."

Wanitanya lantas tertawa kecil. Senyumnya mengembang manis, memamerkan sepasang gigi kelinci. Jimin suka ketika pipi wanitanya yang sedikit penuh, akan bersemu merah muda, juga matanya yang bulat berubah jadi melengkung ketika tertawa,

"Dasar aneh."

"Aneh, ya?"

"Iya, haha!" Wanitanya tergelak; dan Jimin kemudian cuma balas tersenyum tipis.

Tahu?

Tangannya sekilas gemetaran. Tapi bukan karena dingin. Melainkan debaran anomali yang kian menggelitik. Terutama ketika sekilas punggung tangannya sedikit bersinggungan dengan rambut panjang wanitanya.

Warnanya hitam. Halus sekali. Jimin mungkin bisa dianggap seorang laki-laki yang sangat detail terhadap hal kecil. Tapi rambut Jung-ah, halusnya mungkin lebih membuai ketimbang kain sutera.

Kemudian ia berdeham. Sekilas menegakkan badan. Dan matanya melirik sesekali ke arah punggung tangan wanitanya yang berbalut kulit putih seperti susu.

Panggilan nurani ingin menggenggam; tapi batin Jimin berkata biarkan.

Bodoh, memang.

"Jung,"

"Hm?" Lagi, wanitanya menoleh, "Apa?"

"Aku kesini, bukan buat berakhir jadi kacang, lho."

Wanitanya mendengus geli—tawanya sekilas tertahan, "Emang kamu martabak?"

"Ngomong serius ini,"

"Ini juga lagi dengerinnya serius."

"Perhatian kamu bukan di aku."

"Ini kita lagi saling hadap-hadapan, aduh."

"Eksistensiku, kamu lihatnya dimana, Jung-ah?"

Wanitanya mengerjap beberapa kali, sebelum merengut, "Kamu disini. Di sebelahku. Pertanyaan kamu lucu."

"Kamu gak ngerti?"

Jung-ah kemudian menggeleng. Dan Jimin balas dengan menghela nafas, sebelum tersenyum tipis,

"Aku mau tanya, tapi kamu jawab serius, oke?"

Jimin berujar ragu; dan kembali menyungging senyuman miring tipis begitu mendapati wanitanya mengangguk,

"Jadi pacarku? Mau gak, Jung?"

"Hah?" Kembali, wanitanya mengerjap dengan wajah tercengang—Jimin mati-matian menahan dengusan geli menguar, tapi ditahan, "Kamu nanya serius?"

"Dua rius."

"Ini ... nembak?"

"Bukan, Jung. Aku lagi belajar masak."

"Jimin! Serius!"

"Serius, sumpah." Jimin mengangkat dua jari, "Aku suka kamu. Udah dari lama, bahkan."

Si Jung-ah menghela nafas. Kemudian membalikkan tubuh untuk duduk mutlak berhadapan. Kedua kaki bersilang jadi duduk bersila. Kemudian sambil bersidekap, memandang Jimin seolah hina,

"Nembaknya sekarang banget?"

"Kalo bisa, jawabannya juga sekarang,"

"Gak ada bawa apa-apa, gitu?"

Jimin mengernyit, "Contohnya—?"

"Ya apa gitu," Jung-ah mengedikkan bahu, "Biasa orang nembak itu bawa bunga. Cokelat. Apa kek, biar bukan tangan kosong."

"Seenggaknya, aku nembak kamu langsung. Bukan lewat chat. Hargai dong, Jung-ahku. Sakit hati, nih." Jimin pura-pura mengerang sambil meremat dada,

Yang disahuti dengan sebuah kerlingan malas, "Iya, dihargai."

"Dan aku bukan nembak pake tangan kosong, lho." Jimin mendengus, "Serius. Yakin seratus persen kamu tambah gendut. Lupa, ya? Aku bawa nasi bungkus."

"Nasi bungkus aja." Jung-ah berujar mengejek—geram ditahan dalam hati karena secara langsung Jimin malah ngatain.

"Nasi bungkusnya ada lima." Jimin merentangkan jemari tepat di depan wajah wanitanya yang hanya memandang bosan, "Satu papa, satu ibu, dua kamu. Satunya lagi, aku."

"Itu doang, Jimin."

"Sekarang, aku tanya ya, Jungkook."

Jimin memajukan badan—posisi duduknya ikut bersila, jadi keduanya saling berhadapan. Wajah keduanya masih ada jarak. Mungkin barang beberapa jengkal. Tapi cukup ruang. Setidaknya. Sekalipun aroma hujan dicampur wangi Jimin yang benar-benar segar seperti citrus itu sekejap buat Jungkook nyaris salah fokus.

Tapi kembali, ia coba pasang muka ketus, "Tanya silahkan,"

"Oke," Pemudanya mengangguk; senyumnya tersungging jahil, "Nasi bungkusnya, enak atau nggak?"

Jungkook mengernyit bingung; namun dengan usaha tetap tegar, cuma balas mengangguk, "Enak," Sahutnya singkat, "Jujur nih, ya. Emang enak. Tempat biasa, kan?"

Jimin mengangguk, "Yup,"

"Nah, terus?"

"Karena enak, kamu makannya dua bungkus. Dan habis keduanya, kan?" Jimin terkekeh, sebelum ledekannya kembali terselip, "Gembul."

"Ngomong ap—"

"Karena sudah habis, Jung-ah gak boleh nolak buat jadi pacar Jimin, iya?"

Blank.

Jungkook, mengerjap cepat dua kali, "Hah? Gimana, gimana?"

Disini, Jimin menghela nafas—hadeh, cakep-cakep bolot, pikirnya, "Kamu. Jadi pacarku. Gak boleh nolak. Titik."

"Kenapa gitu—?"

"Soalnya, katamu nasi bungkusnya enak. Karena enak, makannya dua bungkus. Terus, habis juga. Gak ada sisa."

"Ini nembak kok kesannya malak?"

"Lho, emang lagi malak, kan?"

"Malak apaan?"

"Malak hati," Jimin nyengir; kemudian kedua telapak menyakup kepala wanitanya seraya mengacak rambut panjangnya oleh karena kelewat gemas,

"Jadi hari ini, Jung-ah resmi jadi punyaku, ya. Paten."


Malam minggu Jimin, ditutup dengan status sudah berpasangan.

Hati Jungkook, sukses dikunci bawa pulang.

***

Supaya janjiku gak berakhir sekedar janji,
Ini cerita tentang cintanya Jimin, teruntuk wanitanya

bayangkan ㅡjikookWhere stories live. Discover now