03. Pembunuh

97 23 4
                                    

“Aku pulang...”

Miyuki lalu berjalan dengan langkah gontai, dan berbaring pada sofa dengan tatapan lurus mengarah langit-langit rumahnya. Ia merindukan kehangatan sebuah keluarga.

“Ma, Pa, Bang... aku kangen kalian. Mengapa kalian meninggalkanku begitu saja? A—aku tidak bisa melakukannya sendiri. Bisakah kalian mampir ke dalam mimpiku? Ada banyak sekali yang akan aku ceritakan. Aku merindukan kalian,” cicit Miyuki. Air matanya menetes begitu saja. Dirinya selalu lemah, ketika menyangkut keluarga.

Keluarga yang paling dia andalkan, mati begitu saja tepat di hadapannya. Kebakaran yang terjadi 4 tahun silam, tak mampu membuat dia bisa melupakannya. Setiap malam, rasanya ada seseorang yang mencekiknya. Tidurnya tidak pulas, rasa takut selalu melandanya. Obat tidur saja, tidak cukup membuat rasa takutnya hilang. Obat dari psikiater yang selalu dia minum juga tak kunjung membuatnya tenang. Mimpi itu seperti nyata. Lubang kegelapan, seakan siap menerkamnya.

Akibat dari kurang tidurnya, membuat Miyuki menjadi sedikit gila. Ia tidak dapat membedakan mana dunia nyata dan mimpi. Setiap saat, harus minum obat yang sudah diresepkan oleh dokter. Depresi, mungkin itu, yang dirasakan gadis cantik ini. Bagaimana tidak, keluarganya ikut terbakar dengan rumah yang mereka tinggali. Lalu, bagaimana Miyuki bisa tidak ikut terlalap oleh api seperti kedua orang tuanya dan juga kakak tercintanya? Jawabannya, karena seseorang lebih dulu mengeluarkannya dari kobaran api. Spekulasi itu, tidak membuatnya percaya begitu saja. Ada yang aneh, seperti ada benang kusut yang harus dia selesaikan terlebih dahulu. Tapi, apa itu?

“Ma... mengapa hanya aku yang selamat? Aku belum mendapat jawaban yang cocok dengan hatiku.”

___

“ADA PEMBUNUHAN!”

Teriakan itu, membuat Miyuki dengan segera berlari. Rambut panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Kedua matanya melotot sempurna, ketika melihat salah satu mahasiswi tergantung dengan kedua mata terbelalak. Bukan itu saja, salah satu tangannya penuh dengan darah.

“Eh, tolong dibantu dong!” seru Miyuki, ia lalu berjalan mendekat ke arah jasad korban.

“Apa yang akan kamu lakukan? Biarkan saja, jika tidak ingin menjadi tersangka,” timpal salah satu mahasiswa.

“Apa kau gila? Lihatlah, dia kesakitan!” serunya.

“Dia sudah mati, tidak bisa merasakan kesakitan sedikit pun,” ucapnya.

“Sudahlah, berhenti berdebat!” Neona menarik lengan Miyuki dengan cepat. “Jangan terlalu berurusan dengan Zaden. Dia adalah penguasa kampus ini.”

“Lalu, apakah aku harus diam saja? Aku tidak takut sedikit pun!” serunya.

Neona menahan senyumnya. “Maksudku bukan seperti itu. Sudahlah, kamu memang tidak mengerti.”

“Aku akan mengerti, jika kau menjelaskannya!”

Woho! Easy... Zaden adalah penguasa kampus ini, dan kamu meminta dia untuk menurunkan mayat? Jelas dia akan menolak,” jelas Neona.

“Aku tidak memintanya, aku meminta yang lain.”

“Ah, sepertinya aku akan sulit untuk memberitahumu, dasar kepala batu,” ucap Neona.

“Apa kau bilang?!” serunya.

“Ah, tidak,” ucapnya seraya tersenyum manis. “Mengapa kamu menjadi sangat cerewet?”

“Memangnya kamu mengenalku?” tanya Miyuki dengan tatapan datar.

“Ini pertemuan kedua kita,” jawab Neona dengan cepat. “Sudahlah, tidak penting. Yang penting adalah, siapa pembunuh itu? Apakah dia sengaja melakukan bunuh diri?”

“Itu bukan tugasmu,” jawab Miyuki.

Argh! Rasa penasaranku benar-benar gila!” teriak Neona. “Lalu, apakah itu menjadi urusanmu? Menurunkan mayat yang sudah jelas tak bernyawa?”

“Maaf, kita tidak sedekat itu untuk berbagi informasi. Dah, oh satu hal... setidaknya aku memiliki hati nurani, kalian seperti ini karena berasal dari keluarga terpandang. Dan sudah pasti kehilangan seseorang, itu hal yang lumrah.”

“Ada apa denganmu? Mengapa topik pembahasanmu semakin melebar? Ini tidak ada hubungannya!” seru Neona.

Miyuki hanya tersenyum miring, ia menatap gadia di hadapannya dengan raut wajah datar. Kedua matanya sangat tajam, tak ada kehidupan di sana.

Argh! Aku penasaran, siapa pembunuh itu! Jangan sampai rasa penasaranku semakin tumbuh!”

Mendengar teriakan frustrasi yang dilontarkan oleh gadis di hadapannya, membuat Miyuki menarik senyum.

“Ah, apa kamu baru saja tersenyum?” tanya Neona.

“Tidak, kamu salah lihat.”

“Benarkah? Aku meragukannya,” selidiknya.

“Tapi, ke mana temanmu?” tanya Miyuki dengan raut kebingungan, dan berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Siapa? Yang mana? Yang seperti apa?” tanya Neona balik.

“G-iana?” tanyanya dengan suara kecil. “Ah, mengapa namanya sangat ambigu sekali. Orang akan mengira jika dia adalah laki-laki.”

“Maka dari itu, aku saja bingung.”

“Ke mana dia?”

“Oh, dia absen.”

“Lalu, yang satu lagi? Setahuku, kemarin dia menyebut—“

“Alsa? Jangan harapkan dia, dia terlalu cuek terhadap sekitar. Dan juga, mahasiswi kedokteran memang sangat sibuk.”

“Lalu, mengapa kamu tidak menyibukkan diri?” tanya Miyuki.

“Aku?” tunjuknya pada diri sendiri. “Aku sibuk, kok. Sibuk akan rasa penasaranku sendiri, terhadap orang sekitar.”

Miyuki menghela napas panjang. “Rasa penasaran yang berlebihan itu tidak baik.”

“Terima kasih atas perhatiannya. Mari kita tangkap pelakunya!” ajak Neona dengan semangat, ia lalu menarik lengan Miyuki dengan kasar.

Finding Werewolf!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang