04. Tuduhan Tak Berdasar

88 19 3
                                    

“Apa maksudnya?” tanya Alsa. Ia tidak paham dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh Neona. “Jelaskan dari awal.”

“Al, maksudku, itu jelas pembunuhan.”

“Apa yang membuatmu yakin?” tanya Alsa.

“Aku melihatnya dengan jelas. Coba kalian pikir, untuk apa mahasiswi itu bunuh diri di lorong universitas kita? Mengapa tidak di rumahnya saja? Dan juga, mengingat jika lorong universitas sangat tinggi, bagaimana caranya dia menggantung diri? Itu jelas pembunuhan.”

“Lalu, jika kau penasaran, mengapa kau tak tanyakan saja pada mahasiswi tersebut?” tanya Giana.

“Apa kau gila? Dia sudah mati, aku tidak bisa bertanya padanya!” seru Neona.

“Tapi arwah dia masih di sekitar sini, bukankah kamu sangat penasaran? Maka, tanyalah,” tutur Gian lagi.

“Aku hanya penasaran saja, karena ini sangat janggal.”

“Itu bukan ranah kita, Neona. Kita serahkan semuanya pada pihak berwajib saja,” ucap Giana.

Neona mendelik tajam. “Bagaimana bisa, kamu secuek itu? Jian yang aku kenal, ia tidak akan gelap mata membiarkan sebuah kasus begitu saja. Lalu, ada apa denganmu? Lagi pula, kamu tidak mengetahui detail kejadiannya, karena kemarin kamu absen, bukankah begitu?”

Giana menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “M-maksudku, benar yang dikatakan oleh Alsa. Sudahlah, rasa penasaranmu semakin bisa membunuhmu, Neona. Aku tidak akan terpengaruh olehmu, meskipun kau anak Psikologi.”

“Begitu?” selidik Neona. “Lalu, mengapa kau tergagap?”

“Aku?” tanyanya, yang langsung diagguki oleh mereka berdua. “Itu, aku mengingat jelas mahasiswi yang jadi korban tersebut,” cicitnya.

“APA?! BAGAIMANA BISA?” teriak Alsa dan Neona.

“Bahkan, aku tidak memberi fotomu. Dan setahuku, pihak kampus juga tidak mengumbarnya. Tapi, bagaimana kamu tahu? Ini mencurigakan,” tanya Neona.

Giana memijit pangkal hidungnya, mengacak rambut hitam legamnya dengan kasar. “Dia ada sedikit urusan denganku, dan kemarin, kita masih membicarakan hal pribadi.”

“Ada apa denganmu?” tanya Alsa, ia lalu maju selangkah dan menghadapi Giana. Miyuki yang mendengar itu, hanya bisa diam menatap mereka satu-persatu, mencoba memahami situasi yang ada.

“D-dia mencoba merebut Aiden dariku,” jawab Giana dengan suara pelan.

“Begitu ‘kah?” tanya Neona. “Aku rasa, ini ada yang janggal. Terlebih, kamu absen yang bertepatan dengan mahasiswi itu gantung diri.”

“Apakah kamu harus mengetahui alasannya, Neona?” tanya Giana.

“Dan lagi, Aiden hanya sebatas teman dekatmu. Maksudku, jika ada mahasiswi lain yang mendekatinya, seharusnya kamu bersikap biasa saja, Jian. Toh, kau bukan siapa-siapanya. Apa aku salah?” tanya Neona.

“Sudahlah, aku tidak ingin berdebat denganmu. Aku terlalu lelah, dan juga lukaku belum sembuh sepenuhnya.” Giana kini berbalik badan, ia tak ingin terpengaruh oleh ucapan tak berdasar dari sahabatnya tersebut, yang menurutnya, sangat tidak penting dan juga tidak masuk akal.

“Dan yang membuatku penasaran adalah, mengapa kamu memiliki luka? Seingatku, terakhir kita bertemu, kamu baik-baik saja. Aku jadi teringat akan korban yang tangannya berdarah.”

“Lalu, apa kau menuduhku?!” tanya Giana dengan sedikit emosi, ia sudah tidak bisa mengendalikannya. Ucapan sahabatnya sangat menusuk hati, ia sudah berusaha bersabar. Tapi lihatlah, Neona semakin membuat kesabarannya menipis. “Asal kau tahu, aku tidak ada hubungannya dengan dia! Tuduhan tak berdasarmu, membuat hubungan kita menjadi renggang! K-kau—kalian bahkan tak menyadari bahwa aku terluka sejak kemarin. Karena yang peduli di sini, hanya aku. Sedangkan kalian? Kalian hanya memanfaatkan rasa simpatiku saja! Terlebih kau, Neona! Apa kau tahu, kita sudah lama berteman, KITA BERTEMAN LEBIH LAMA DIBANDING AKU KENAL DENGAN ALSA. TAPI SIKAPMU SANGAT KETERLALUAN, TIDAK BISAKAH KAU PERCAYA SEDIKIT SAJA PADAKU? OKE, JIKA KAU TIDAK MEMPERCAYAIKU, ITU TIDAK MASALAH. TAPI, BISAKAH KAMU BERPURA-PURA PERCAYA SAJA? DAN JUGA... AH SUDAHLAH, LUPAKAN!”

Penjelasan yang dilontarkan oleh Giana, mampu memukul telak rasa penasaran Neona. Ucapannya sangat keterlaluan dan ia mengakuinya.

“Jian!” teriak Alsa, namun teriakan itu tak membuat Giana berhenti. “Kau! Bisa tidak, jaga ucapanmu? Mulutmu itu, bisa membuat kita terluka! Jika itu untuk orang lain, maka aku tidak peduli. Tapi kau, menyakiti Giana, sahabat kita! Dasar bodoh! Berpikirlah! Gunakan otak cerdasmu untuk keperluan penting, bukan digunakan untuk hal yang tidak berguna sedikit pun!!”

Setelah mengucapkan itu, Alsa pergi meninggalkan Neona dan Miyuki begitu saja.

“Apa aku salah?” beonya pada diri sendiri.

“Jelas tuduhanmu salah, Neona. Oke, maaf, karena mungkin aku hanya orang asing di antara kalian, tapi hanya saja, aku tidak bisa diam ketika melihat salah satu dari kalian terluka. Benar apa yang diucapkan oleh Giana, seharusnya kamu yang lebih mengerti dia, tapi mengapa kamu seakan menuduhnya?” tanya Miyuki. “Dengarkan aku, sekali lagi aku tidak ingin ikut campur, karena sebenarnya ini adalah masalah kalian. Aku hanya ingin meluruskan satu hal, jika kamu memang menuduh sahabatmu sendiri, tolong pendam itu, dan segera cari tahu kebenarannya seperti apa, sebelum, ya memang kejadiannya sudah terjadi.”

“Aku salah?” tanya Neona, dengan tatapan sendu.

“Jelas kamu salah. Jika memang sahabatmu bersalah, biarkan pihak berwajib yang mengurusnya, dan kau... kau cukup diam saja mengawasi jalannya yang ada, apa kamu paham maksudku?”

Neona perlahan menarik senyumnya. “Terima kasih, Miyuki. Aku sangat berhutang budi padamu.”

“Maka, minta maaf pada kedua sahabatmu. Aku tidak ingin di cap sebagai perusak persahabatan orang lain.”

“Oke, aku paham.”

Finding Werewolf!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang