Bab. 1a

20.4K 821 11
                                    

"Sial!"

"Ini nggak mungkin terjadi."

"Ada apa sama, Amel? Jadi gitu dia?"

Suara gumanan menjalar di seantero rumah. Ada belasan laki-laki berkumpul, tersebar di ruang depan. Spekulasi, teka-teki dan banyak tanda tanya berputar di sekeliling mereka bagai udara yang mengisi rongga dalam rumah. Sebagian bicara sambil ngopi dari gelas kecil, ada juga yang sembarangan mengunyah cemilan, asap rokok mengepul di sela-sela bibir.

Rumah tempat mereka berkumpul terbilang bangunan tua tapi luas, beratap rendah dengan pilar pendek menyangga bagian teras. Dindingnya bercat kuning pucat dengan lantai marmer warna merah. Ada pohon manga berdaun lebat di halaman, menaungi banyaknya motor yang parkir. Meski tua tapi rumah itu terlihat terawat. Menghadap langsung ke arah jalan raya, menampakan pemandangan lalu lintas yang bersliweran tanpa henti.

Di dalam kamar kecil bernuansa cerah, seorang gadis terbaring lemah. Wajah pucat dengan rambut tergerai berantakan menutupi sebagian lehernya. Tubuhnya ditutupi selimut tipis. Dia tidak terpengaruh meski ada suara memanggilnya. Jendela kaca dengan gorden merah muda bermotif bunga tersingkap lebar, menampakkan pemandangan samping rumah yang di tumbuhi bunga soka.

Seorang laki-laki bertubuh gempal memandang sekeliling kamar yang ditempel poster artis Korea dengan pandangan nanar. Dahinya mengernyit saat melihat setangkai bunga mawar layu yang diletakkan di atas meja kecil di samping ranjang. Bunga layu di dalam gelas berisi air yang mulai keruh. Di sampingnya, seorang wanita berambut pendek memanggil gadis yang sedang terbaring dengan suara pelan.

"Amel, bangun."

"Amel, Sayang. Kamu sudah beberapa hari ini nggak bangun. Nggak lapar, Sayang? Kakak masak kesukaan kamu loh? Soto daging."

Diam, tidak bergerak. Gadis bernama Amel tidak terpengaruh dengan panggilan untuknya.

"Bagaimana ini, Bang? Sudah nyaris tiga hari dia begini."

Wanita itu mendongak dari tempat duduknya, memandang laki-laki gempal yang berdiri bingung di sampingnya.

"Minggu lalu dia nggak gini, apa yang terjadi, Mayang?"

"Entah Bang, aye juga nggak paham. Kayaknya die lagi jatuh cinta gitu, suka senyum sendiri. kelihatan bahagia, trus mendadak murung, nggak mau keluar kamar. Eih, sekarang jadi gini," desah Mayang.

"Lo tahu dari mana dia jatuh cinta?"

"Yee, Bang Amir gimana? Anak cewek kalau lagi demen ama orang yang kelihatan kalii? Minggu lalu dia pernah ijin buat pergi nonton, pulang jadi murung."

Amir mendecakkan lidah, menatap Amel yang masih tertidur pulas. Keadaan adiknya benar-benar bikin dia kuatir. Dia harus cari tahu, penyebab adiknya depresi sampai tidur dan enggan bangun.

Meninggalkan Mayang dan Amel di dalam kamar, Amir melangkah menuju ruang depan.

"Bang Amir."

"Gimana Bang?"

Beberapa orang yang semula duduk di sofa berdiri menyambutnya. Sementara mereka yang berada di luar berjalan tergopoh-gopoh menghampiri. Amir duduk di sofa memandang anak buahnya satu persatu. Menyambar rokok dari atas meja dan menyulut api.

"Sepertinya ada yang lagi main-main sama adik gue," ucap Amir sambil mengembuskan asap rokok.

"Siapa Bang? Biar kita hajar dia!"

"Iya, Bang. Kita bantai."

Amir mengangkat tangan untuk menghentikan celotehan anak buahnya.

"Kalau gue tahu siapa orangnya, udah gue habisin dia dulu. Kagak usah nunggu kalian."

[Ending] Merengkuh AsmaraDonde viven las historias. Descúbrelo ahora