2. Menuju Lokasi KKN

4.9K 160 3
                                    

Jam tujuh pagi. Aku sudah sampai di kampus, tepatnya di dekat pelataran gedung A fakultas kami. Dengan menenteng gitar tua dan sebuah koper berukuran sedang.

Semua mahasiswa yang hari ini akan berangkat ke beberapa desa untuk menjalani KKN, diminta berkumpul di tempat itu sambil menunggu yang lain datang.

Sebagian mahasiswa yang telah bergabung dengan kelompoknya masing-masing terlihat tengah asik berswafoto, bercengkrama dan ada juga yang terlihat sudah tak sabar ingin segera sampai di tempat tujuan.

Sementara aku, masih menunggu ketiga teman kelompokku yang belum tampak batang hidungnya.

Sesekali kepalaku celingukan, barangkali mereka sudah datang dan tidak melihat keberadaanku di tempat ini.

"Dalvin!" Kudengar suara seseorang memanggil namaku.

Aku mengedarkan pandang ke segala penjuru, mencari pemilik suara orang yang memanggilku. Dari kejauhan, kulihat Kenzo melambaikan tangan ke arahku. Ternyata dia dan Nayara sudah berkumpul di sana. Di dekat pintu masuk gedung A. Aku pun segera beranjak mendekati mereka.

"Raka belum datang?" tanyaku setelah dekat.

Kenzo meraih gitar yang dari tadi kutenteng, tanpa berminat memainkannya.

"Nomornya enggak aktif, udah gua hubungin beberapa kali, " keluh Kenzo sembari tangannya sibuk menyetel ulang senar yang sebagian memang sudah mengendur, "apa mungkin dia enggak jadi ikut kita?"

"Gak mungkin lah, masa iya dia mau ngulang tahun depan," kataku. "Tunggu aja sebentar lagi, barangkali dia masih di jalan."

Ternyata benar, baru saja aku selesai bicara, tak lama kemudian, Raka terlihat turun dari mobil dan menggeret koper hitam yang cukup besar. Dia terlihat kesulitan membawa barang bawaan yang lebih besar dari tubuhnya.

Wajahnya juga terlihat kebingungan di tengah keramaian mahasiswa. Kemudian Kenzo yang bersuara lantang, memanggilnya. Raka pun seketika menoleh ke arah kami.

"Hei, sorry gua telat," sapanya setelah berada di hadapan kami,"semaleman gua milih-milih baju mana aja yang mau dibawa. Abisnya bingung, saking banyaknya. Sampe gua lupa nge-charge hape."

Nayara menggeleng, apatis. Mungkin ia tidak habis pikir dengan barang bawaan Raka yang melebihi bawaannya. Meski cewek, Nayara terlihat tidak terlalu banyak membawa barang bawaan.

"Lu mau KKN atau minggat, heh?" sergah Kenzo tanpa menoleh pada orang yang ditanyanya.

"Ya, KKN lah. Lu kira sebulan itu waktu yang singkat? Lu tau kan kita mau ke mana?" Raka malah balik bertanya.

"Emang ke mana?" Kenzo berhenti mengotak-atik gitar, lalu mengernyitkan dahi ke arah Raka.

"Ke kampung, you know? Gua cuma prepare, mana tau di sana enggak ada tempat laundry, jadi gua bawa baju banyak. Buat jaga-jaga."

Kenzo mengerucutkan bibirnya, lalu menghela napas. "Ribet memang ya kalo jalan sama sekuter."

"Sekuter, apaan si Ken?" Nayara mengernyitkan dahi.

"Selebriti kurang terkenal. Hahaha!"

Mendengar jawaban Kenzo, Nayara ikut terkekeh.

Kenzo dan Raka memang mirip Tom dan Jerry jika sudah bertemu. Tak pernah sedikit pun akur. Tapi jika saling berjauhan, pasti satu sama lain merasa kehilangan.

Lengking suara panggilan yang berasal dari panggung di tepi pelataran yang disediakan panitia pelepasan peserta KKN, terdengar membahana. Meminta agar seluruh peserta segera berkumpul karena acara akan segera dimulai.

Seluruh mahasiswa yang hari itu serentak memakai almamater hijau kebanggaan kampus kami, berbondong-bondong mendatangi sumber suara.

Acara pelepasan peserta KKN sekaligus pengantaran peserta oleh masing-masing pembimbing sudah dimulai.

Sambutan dekan fakultas menandai dibukanya acara. Seluruh mahasiswa mulai sibuk dengan barang bawaannya masing-masing menuju bus yang telah disediakan.

"Kalian sudah siap?" tanya seorang lelaki bertubuh sedang yang ditunjuk sebagai pembimbing kami.

"Siaap!" jawab kami, serempak.

"Baiklah kalau begitu. Oya, sebelum berangkat, ada satu hal yang ingin saya tanyakan." Pria itu menatap wajah kami bergantian. "Siapa yang mengusulkan tempat KKN ini?"

Lelaki yang akrab disapa Pak Warno itu sepertinya penasaran pada tempat yang kami usulkan, tidak ada dalam list daerah tujuan KKN. Terlebih kelompok kami berjumlah paling sedikit.

"Saya Pak," jawabku singkat.

Pandangan mata pak Warno langsung beralih padaku. Dia menatapku penuh selidik.

"Apa alasan kamu mengusulkan KKN di tempat itu? Kenapa tidak memilih tempat sudah disediakan?"

Dari sorot matanya, sepertinya pria berkumis tebal itu kurang antusias dengan tempat yang akan kami tuju.

Tapi pihak kampus juga tidak keberatan jika peserta punya usulan tempat yang lebih memerlukan kehadiran mahasiswa di sana.

Ingin sekali kulontarkan kalimat itu, tapi aku takut pak Warno malah tersinggung dan akhirnya tidak bersedia menjadi pembimbing kami.

"Kebetulan di sana adalah tempat kelahiran saya, Pak. Saya tahu persis bagaimana keadaan masyarakat di sana, sangat butuh didatangi mahasiswa untuk membantu membuka pola pikir mereka agar bisa berpikir maju," jawabku akhirnya.

Pak Warno diam sejenak, mungkin sedang mencerna kalimatku barusan. Akhirnya ia tak lagi memperpanjang pertanyaan.

"Baiklah kalau begitu. Sekarang, mari kita berangkat."

Kami pun berjalan beriringan menuju bus yang telah disediakan, bergabung dengan kelompok yang daerah tujuannya searah dengan kami.

Desa yang akan kami tuju memang tidak bisa dijangkau dengan mobil besar. Sehingga di jalan  masuk menuju desa yang kami tuju nanti, kami diturunkan dan harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Atau jika beruntung, ada mobil kecil yang melintas, kami bisa nebeng.

"Mohon perhatian sebentar, koper berwarna hitam yang sangat besar, milik siapa?"

Kernet bis memberi woro-woro sebelum mobil berangkat.

Empat orang mengacungkan telunjuk, termasuk Raka. Lalu kernet meminta mereka turun sebentar.

Tak lama, satu persatu dari mereka kembali ke tempat duduk semula. Tinggal Raka yang belum muncul.

Beberapa menit kemudian, barulah Raka muncul. Wajahnya terlihat seperti ditekuk, kuperhatikan bibirnya tak berhenti mengumpat.

"Kenapa, Ka?" tanyaku penasaran.

Sebelum menjawab pertanyaanku, cowok perfeksionis itu meninju kursi di hadapannya. Melampiaskan rasa kesal. Sampai-sampai orang yang menduduki kursi di depannya itu, menoleh ke belakang.

Raka pura-pura senyum.

"Koper lu kenapa?"

Kuulang pertanyaanku, kali ini lebih spesifik.

"Bete gua. Koper gua enggak muat di bagasi. Terus pakaian gua dipindah ke koper punya si kernet. Katanya sih koper itu baru aja diambil dari orang yang pinjem. Mana bau banget lagi terus sebagian lagi, ditaruh di kantong pelastik."

Aku ingin sekali tertawa, tapi takut Raka tersinggung. Beda hal dengan Kenzo, mungkin Raka akan lebih memaklumi.

Tapi untungnya Kenzo sedang fokus mengobrol bersama Nayara sembari memetik gitar dengan suara yang tak begitu nyaring.  Jadi dia tidak menyadari ada bahan olokan yang terlewatkan di depannya.

Tak lama berselang, bus pun melaju membelah jalanan.



N A R S I HWhere stories live. Discover now