Enam

16.1K 823 13
                                    

Aku menghentikan mobilku di sebuah kawasan pondok pesantren. Mungkin karena ini hari Jumat, juga bukan jadwal kunjungan jadi parkiran tidak begitu padat.

Kulewati selasar demi selasar yang menghubungkan antara bangunan satu dengan lainnya. Suasana pondok masih sepi, namun terdengar suara serempak dan teratur dari ruang-ruang kelas. Sepertinya mereka sedang membaca ayat-ayat.

Ini kali kedua aku menginjakkan kaki di tempat ini, kedua kalinya juga merasakan aneh. Area pondok pesantren ini sangat luas. Berbeda dengan pondok pesantren modern lainnya dengan bangunan meninggi. Pesantren ini terdiri dari sebuah kompleks dengan paviliun-paviliun terpisah di dalamnya. Banyak area terbuka dan hijau dengan pepohonan rindang membuat hawa sejuk. Pada deretan paviliiun paling depan, terdapat kolam ikan yang luas. Di beberapa sudut kompleks juga terpasang CCTV.

Semestinya aku memarkir mobilku pada parkiran sisi kanan bukan di kiri kompleks, di sana terdapat pintu yang menghubungkan kediaman ustaz Hamsyah, orangtua Niswa dengan pondok pesantren. Kesalahan ini membuatku agak jauh berjalan mencapai pintu penghubung.

Masih mengingat-ingat pasti letak pintu menuju rumah Niswa, ketika tiba di ujung koridor, sayup kudengar suara yang sudah mulai kuhapal. Bukan suara, tepatnya percakapan Niswa dengan seorang laki-laki. Aku merapatkan tubuhku pada tiang koridor. Belum sempat kudengar percakapan apapun, detik berikutnya tubuh Niswa roboh dan laki-laki itu buru-buru melipat kedua kakinya, menyangga tubuhnya dengan lengannya. Kulihat wajah pria itu bingung dan tegang.

Reflek, aku berlari menghampiri mereka.

Sesampai di hadapannya, kutepis kasar lengan laki-laki itu. Mengangkat tubuh lemah itu. Jangan tanyakan sensasinya. Dua kali aku menyentuh tubuh wanita ini. Ringan dan pas sekali dalam rengkuhanku. Tunggu! bukankah bisa jadi aku sudah menggaulinya? Sayang sekali jika aku lupa sama sekali. Aku penasaran, seperti apa lekuk tubuhnya. Huff, dalam situasi seperti ini masih saja otakku mesum.

“Ada apa, kenapa Neng Niswa?” seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh menghampiri kami. Wajahnya terlihat cemas.

“Tiba-tiba pingsan,” ujarku singkat, kulirik sekilas laki-laki dengan garis muka kearab-araban yang masih mematung di tempatnya. ‘Enteng banget nyentuh-nyentuh bini gue’ batinku. Sial!

“Nak, Reno, bawa saja ke kamar ustazah.”

Kuikuti wanita itu, membopong Niswa masuk ke salah satu paviliun yang lebih besar dari bangunan berderet yang kulewati. Sepi. Paviliun ini memiliki beberapa ruang kamar di sisi kiri dan kanan. Di antara kamar terdapat meja besar lengkap dengan kursinya dan beberapa perabot elektronik, seperti kulkas dan televisi.

Kubaringkan tubuh ramping itu di kasur.

“Niswa … badannya panas,” ujar wanita itu menyentuh kening Niswa.

“Nak Reno inget saya kan? Saya Nyai Salamah, bibinya Niswa, kita bertemu di acara pernikahan kalian," wanita itu tersenyum.

Kuanggukan kepala, mencoba mengingat-ingat. Wanita berjilbab coklat itu mengoles-oleskan minyak pada beberapa bagian tubuh Niswa.

Tak selang lama, tubuh itu menggeliat pelan.

“Oughhh …, Bi,” Niswa membuka matanya. “Dimana ini?”

“Alhamdulillah ... Neng pingsan tadi, untung ada Nak Reno,”wanita itu menoleh padaku yang berdiri di belakangnya.

Niswa memicingkan matanya, menatapku sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya, mengerang pelan.

”Neng, bibi panggilin dokter ya?” Bibi itu terlihat cemas.

Niswa menggeleng pelan. “Nggak usah, Bi, saya hanya kecapean.”

Bidadari dengan Sayap PatahWhere stories live. Discover now