Tujuh

16K 840 14
                                    

Kesendirian ini menyiksa
Lalu pada siapa aku berlari
Ketika tak ada yang peduli tentang gelisahku

***

Kupacu mobilku menjauh dari kompleks pesantren, meninggalkan wilayah Banten.
Sial! sial! sial! Berkali-kali aku mengumpat. Kupukul keras setir bundar itu. Meluapkan kekesalanku yang sedari tadi kutahan-tahan. Kalau bukan mengingat pesantren sebagai area yang tenang dan religius. Juga rasa hormatku pada mertuaku. Sudah sedari tadi kubogem mentah wajah sok alimnya tadi. Siapa tadi? Ya, laki-laki itu, Ramadhan. Tak kan pernah kulupa. Aku mengepalkan genggamanku kuat, menyalurkan emosiku.

Naluri lelaki ku tercabik, bagaimana tidak laki-laki lain sengaja berada di antara kami. Kurangajarnya, dia seolah merasa tak bersalah. Aku memang tak ada rasa apapun dengan wanita itu, tapi saat ini, dia istri sahku, artinya milikku. Semestinya tak ada lelaki pun yang boleh mendekatinya. Persetan dulu setatusnya sebagai apa.

Apa dengan tampilan seperti itu, Niswa pacaran juga? Shit! Lalu apa bedanya denganku? Huhhh...

Terlintas lagi peristiwa sebelum aku meninggalkan pesantren. Perseteruan dalam diam yang cukup menjelaskan bahwa dia merasa punya hak akan Niswa. Sialan!

"Ya, Allah, Neng kenapa lagi?" Bi Salamah tiba-tiba hadir bak begawan menengahi suasana yang begitu mencekam dimana genderang perang telah ditabuhkan. Bahkan dua kestaria telah siap untuk saling menghabisi.

"Nak Rama, tolong keluar," titahnya pada pria itu penuh isyarat dalam kalimatnya.

Pria itu membisu, tak bergeming. Lagi, Bi Salamah melalui tatapannya mengkode agar segera pergi. Ini kedua kalinya pula, dengan langkah berat, pria itu meninggalkan kami.

Kembali kurebahkan Niswa di ranjang. Badannya memang panas sekali.

"Bi, saya permisi dulu. Sepertinya Niswa butuh istirahat."

"Loh, mas Reno, ko, Neng belum terjaga kan?"

"Kondisinya akan lebih baik kalau saya tidak ada di sini," ucapku datar.

Wanita paruh baya itu sedikit linglung. Aku tahu, aku suaminya yang mestinya berada di sisi seorang istri yang sedang sakit. Lalu aku harus apa? Dia saja tak ingin melihat mukaku. Bahkan melarikan diri ketika kudekati. Tepatnya dia menolakku. Ironis, bukan?

"Sampaikan saja ke Niswa, saya dan Kayla menunggunya pulang."

Waktu itu, Bi Salamah tak menjawab apapun. Aku tahu seribu tanya menari-nari
di kepala wanita itu.

Rupanya kericuhan hari ini belum berakhir. Sesampainya di pintu gerbang, nampak
sedan merah berdiri dengan gagahnya di halaman rumah, membuatku sedikit terkejut. Sudah bisa ditebak, ini bakal menguras emosi. Membuatku mati kutu. Sabar, Reno, sabar.

"Assalamualaikum, Moreno ..., mana Niswa," serbunya, tatapnya mencari-cari sesuatu di belakangku. Bahkan aku belum sempat berkata apapun. Kujawab salamnya lemah, segera kuraih punggung tangannya, kucium takzim. Berganti mencium puncak kepala gadis kecilku yang asik menjilati es krim di genggamannya. Selalu seperti itu, mama selalu menuruti semua mau cucunya itu. Termasuk es krim dalam jumlah berlebih.

"Niswa ...," aku menggantung kalimatku. Menatap Kayla yang sedang bergelendot di pangkuan mama.

"Mbak, tolong bawa Kayla ke dalam," titahku pada Bi Inah yang sedang mematung di sebelahku. Dengan buru-buru diambilnya Kayla segera berlalu dari ruangan tengah menuju kamar.

"Moreno, jelaskan ke mama!" perintah mama tak sabar.

"Ma, Niswa masih ingin di sana beberapa hari, mungkin kangen rumah. Besok Reno jemput lagi."

Bidadari dengan Sayap PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang