KAU KEJAM!!!

9 1 0
                                    

Aku terus mencoba menelponnya, tapi hasilnya selalu nihil. Aku mencoba sekali lagi, berharap ia akan mengangkat telponku.

Ck, sial! Sebenarnya dia kemana sih. Sudah dua minggu dia hilang kabar, aku benar-benar khawatir. Apa sesuatu terjadi padanya? Apa dia sakit? Otakku penuh dengan berbagai pertanyaan tentangnya.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Aku menoleh. "Oh... lo Jihan. Bikin kaget aja," ucapku sambil mengelus dada.

Jihan nyengir dengan jarinya yang berbentuk huruf 'v' lalu duduk dihadapabku. Dia menatapku serius, tumben.

"Lo tau 'gak--"

"Enggak," potongku cepat sambil menyengir kerahnya.

"Ish... gue belum selesau ngomong vania sayang, jangan main potong aja," geramnya karna keusilanku.

Aku terkekeh. "Sorry deh."

"Kemaren gue liat Vian jalan sama cewek. Sumpah! Mereka mesra banget." Hatiku bergemuruh mendengarnya.

Aku tertawa garing. "Haha... gak mungkinlah, paling sepupunya," sangkalku.

"Kalo gak percaya yaudah. Yang penting gue udah ngasi tau, jadi nanti jangan nyesal ya," ujarnya membuatku terdiam. Ia lalu memesan makanan.

Bagaimana kalo yang dikatakan Jihan benar? Aku pernah sekali memergokinya sedang chating sama cewek lain dengan panggilan 'sayang'. Aku benar-benar takut.

***

Cowok sialan! Bajingan! Dasar setan! Cowok gak tau diri! Dan masih banyak lagi sumpah serapahku untuknya.

Aku kembali menangis. Tak perduli walaupun sudah menangis semalaman. Cowok sialan!

Tok... tok... tok...

"Sayang, biarin mama masuk ya," pinta mama. Aku tak menjawab mama. Aku ingin sendiri saat ini.

Dasar cowok gak tau terimakasih! Berani-beraninya dia mengirimkan surat sialan itu setelah membuatku khawatir. Hiks! Hiks! Kenapa kejadian kemaren terus berulang dikepalaku seperti kaset rusat.

Ting tong! Ting tong! Ting tong!

"Sayang, tolong bukain pintunya dong. Mama lagi masak nih!" teriak mama.

"Iya, ma!" balasku berteriak juga.

Aku membuka pintu. "Ya, cari siapa?" tanyaku.

"Apa mbak Vania clairisanya ada?" malah balik nanya. Wajarlah, kurir kan emang gitu.

"Ya, saya sendiri," jawabku.

"Ini ada surat untuk mbaknya," katanya sambil menyerahkan surat itu padaku.

Aku mengambil suratnya. " makasih." Setelah itu, kurir berlalu pergi.

Aku masuk kedalam lalu membuka surat itu. Aku terduduk karna syok melihat isi suratnya.

Alvian Dirgantara bin sharir Dirgantara.

Menikah dengan

Vanessa Anggraini binti Rasyid Nur Rahman.

Jahat kamu vian! Kamu jahat!
Lalu, yang kita jalani selama ini apa? Omong kosong kah? Aku tak dapat menahan air mataku. Mama yang mendengar aku menangis pun segera menghampiriku.

"Kenapa sayang? Kamu kok nangis?" Aku tak menjawab pertanyaan mama, yang ada tangisku semakin pecah.

Mama yang heran pun merebut surat undangan itu dariku. Mata mama melotot, lalu ia meremas-remas surat malang itu. "Udah, gak usah nangis. Cowok kayak dia tuh gak pantes ditangisin," ucap mama sambil menepuk punggungku pelan.

***

Yak! Semuanya sudah siap. Mama maafkan. Aku mulai mengalungkan tali itu dileherku, kulepas pijakanku.

Enghh... sakit. Tapi, rasa sakit ini tak seberapa daripada sakit yang diberikan Vian. Aku mulai sesak nafas, tanganku memutih.

"Sayang, kamu kenapa? Kenapa kamu seperti merintih seperti itu?" tanya mama sedikit berteriak.

"Engh... engh... sa..kit m-ma." Aku mulai meronta-ronta berusaha melepaskan tali itu dari aku, tapi mustahil.

"Sayang, kamu kenapa? Jawab mama sayang!" Mama mulai panik. Terdengar suara langkah kaki menjauh, sepertinya mama mau mengambil kunci cadangan.

Dengan tenaga yang tersisa. Aku mengambil cutter dari saku celanaku, menggoreskannya tepat pada nadi sebelah kiriku. Aku meringis kecil menahan sakit dipergelangan tanganku.

Darah mulai menetes perlahan dari pergelangan tanganku, semakin lama tetesan darah itu semakin cepat. Pandanganku mulai buran. Entah kenapa rasanya aku ingin tidur.

Terdengar kunci pintu yang terbuka. Aku tak tau apalagi yang terjadi setelah karna mataku sudah tertutup, yang aku tau hanyalan teriakan mama untukku.

"Vania!"

SELESAI.

Malah bikin cerpen, padahal cerita yang satunya belum selesai-_-

Gapapa lah ya. Ide cerpen gak bakal tercampur kok. Lagipula cerita yang satunya outlinenya udah selesai. Jadi, tenang aja.

Lebih enak mana? Tulisanku pake pov 1 apa pov 3? Doakan juga semoga aku bisa pake pov 2. Hahaha...

Gini nih gak enaknya pake pov 1, cuma bisa sampe situ doang. Padahal kalo pake pov 3 masih bisa dilanjut tuh.

Oke! Silakan lanjutkan dengan imajinasi kalian sendiri. Vania masih hidup juga boleh, mati juga boleh, atau mau bikin dia gentayangan dan ngehantuin Vian. Itu hak kalian sebagai pemilik imajinasi.

CERPEN MINGGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang