3. Kontusio

7.7K 1.1K 198
                                    

Itu adalah luka pertama. Tercipta kebiruan lewat hantaman Taehyung di sudut rahang Jiyoo. Kelima jari besar lelaki itu mengepal dan berhasil menciptakan tinju kuat. Pada detik pertama terasa seakan rahang Jiyoo retak. Lalu sembari bercermin di pagi hari, wanita itu menekuri wajah memarnya dan berpikir apa yang harus ia lakukan untuk menutupinya.

Sembari berusaha menggosok gigi, wanita itu terus meyakinkan diri bahwa luka ini bukan miliknya. Ini milik Taehyung. Perih dari dinding mulut yang tergesek gigi akibat hantaman keras itu sesungguhnya luka Taehyung. Luka pertama. Biru. Terbakar. Termasuk memar yang membentuk rangkaian rumit petir. Semua ini bukan luka milik Jiyoo. Setidaknya itulah yang Jiyoo yakini, seraya mengompres pipinya dengan bongkahan es batu berbalut kain, mengabaikan sisa busa pasta gigi yang masih menodai sudut bibir.

Dan memang begitulah adanya.

Taehyung bangun pagi itu dengan perasaan bersalah menghantuinya. Namun di atas itu semua, ada kepuasan hasrat gelap yang menyelimutinya. Taehyung tahu apa yang dilakukannya tadi malam tidaklah benar. Itu hina, tidak beradab dan tentu menyalahi aturan. Tapi di sisi lain dia tak mampu memungkiri bahwa ada hasrat terlarang yang baru saja menemukan pelepasan, setelah selama ini memberontak liar dalam dirinya.

Tapi, melihat wanita terkasihnya kesakitan adalah luka lain bagi Taehyung. Itulah alasan air matanya tiba-tiba menetes kemarin malam. Taehyung tak suka rasa bersalah macam ini. Mengingat wajah lembut dan maha rapuh kekasihnya ditinju kasar, terang saja membuat Taehyung mengertakan rahang, membetulkan letak dasinya dengan serampangan. Pantulan dirinya di muka cermin menatap balik dengan tatapan yang sama tajam dan mematikan. Keadaan toilet kampus sedang benar-benar kosong. Hanya ada Taehyung dan bayangannya di cermin, menatap dengan geram pada tangan kanan yang telah dengan lancang meninju wajah Jiyoo. Kepalan lelaki itu menguat, hingga uratnya tampak jelas menjuluri punggung tangan.

BRAAAK!

Cermin itu retak dan pecahannya berjatuhan ke marmer wastafel. Seperti itulah Jiyoo-nya bila tercipta dari kaca; retak, pecah dan hancur berantakan. Tapi dengan tinju yang sama kuat, Jiyoo masih berdiri tadi malam, menampilkan pias kaget alih-alih terhempas. Tinju itu menciptakan pola melingkar sarang laba-laba. Dan satu pecahan besar jatuh nyaring, menghapus pantulan wajah Taehyung menjadi dinding gelap. Pria itu mengalihkan pandangan pada ujung jarinya yang perih mengalirkan darah segar.

Dia tak suka melihat Jiyoo terluka, bahkan untuk sekadar mengingat Jiyoo sakit saja Taehyung benci. Tapi hasrat terlarang untuk melukai dan menghancurkan selalu mengamuk hebat dalam dirinya. Dan Taehyung butuh sesuatu untuk melampiaskan itu semua. Apa saja, asal bukan sesuatu yang ia sayangi.

"AHHGRRRRHH!"

Taehyung meninju cermin itu berkali-kali dan geramannya terdengar bergemuruh. Dengan napas terengah dan tangan gemetar ia memutar keran, membiarkan dingin air mengaliri tangannya dan membawa hanyut merah darah. Taehyung menarik napas panjang, menatap pantulannya di cermin yang tak lagi utuh, lantas membenarkan simpul dasinya dengan tenang. Sejenak dia mendekatkan wajah untuk memberi perhatian lebih pada kacamata, kemudian memastikan letaknya kembali di pangkal hidung. Keluarlah dia dengan langkah teratur, menjingjing tas kerja berbahan kulit di lengang kanan dan tersenyum sopan melewati beberapa rekan serta mahasiswa yang menyapanya sepanjang lorong. Sebuah manipulasi yang rapih.

"Taehyung-ssi!"

Taehyung melambai ramah membalas sapaan itu. "Ah, Seokjin-ssi," sahutnya pada lelaki jangkung berbahu lebar. Dia adalah dosen mata kuliah patofisiologi yang digemari para mahasiswa dan populer akan humornya. Dibanding Taehyung, Seokjin dikenal lebih ramah dan toleran pada mahasiswa. Seokjin akan memberi peringatan sebelum memberi para pembangkang kecil itu nilai buruk di akhir semester.

Be Careful, Taehyung✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang