Prakata

197 22 21
                                    

kindly play the multimedia;
'Younha - Pray'

Untuk sekali lagi aku dibawa ke belakang sekolah.

Tubuhku seketika menubruk dinding itu begitu salah seorang dari mereka mendorongku dengan sangat keras tanpa menaruh sedikit perasaan.

Aku meringis kesakitan, lalu menilik memerhatikan lima orang yang bersamaku terlihat seperti kumpulan singa kelaparan mengepung seekor mangsa lemah.

Seorang berada di sisi kanan dan kiriku. Seorang lagi berada di belakang dan sisanya berada agak jauh untuk mengecek situasi. Mereka mengepung tempat ini hanya dalam waktu beberapa detik saja.

"Periksa tasnya," titah sang gadis berambut pirang, Yeon Chae Yeon, kepada dua orang yang telah menjadi babunya sejak dulu.

Sesuai perintah, salah seorang dari mereka merampas tas ransel yang menyampir di pundakku. Membukanya secara paksa seolah akan merusaknya kapan saja, kemudian membuang isinya ke tanah.

Buku-buku, peralatan tulis, sebuah roti, sampai kertas-kertas kuis. Semuanya terbaring mengenaskan di atas sana. Aku tidak berani untuk mengeluarkan protes karena tahu bahwa aku akan berada di titik masalah bila melakukannya.

Gadis berambut curly yang berdiri di sisi kananku menyiahkan rambutnya. Kemudian menendang kecil roti yang kubeli sebagai makanan esok hari.

"Apakah kau tidak pernah membawa dompet lagi semenjak kami meminjam uangmu?"

Aku menurunkan pandangan pada ujung sepatuku. Aku takut, terlalu takut untuk menatapnya.

"Padahal kami cuman meminjam beberapa saja, kenapa pelit sekali?"

Saat itulah tatapan kami bertemu kala ia sedikit merundukkan tubuh. Kilat matanya terlihat menusuk semata-mata akan menghabisiku di detik ini juga.

"Apa kau sudah bosan bermain bersama kami?" Gadis itu menggerakkan tangan memeriksa bagian-bagian jas sekolahku, mencoba mencari sesuatu. "Cukup berikan beberapa saja dan kau bebas hari ini."

Tetap kututup bibirku rapat-rapat selama beberapa saat. Barulah aku bisa merasa lega saat ia kembali berdiri tegak seusai mengecek seluruh saku pakaianku.

Aku melihatnya yang mendesah lelah.
"Dimana kau menyembunyikannya?" ucapnya terdengar sedikit frustasi.

Dia lagi-lagi memegang bahuku, mencengkeramnya pelan yang kemungkinan mencoba membuatku takut dan segera memberinya uang.

Tapi tetap saja, mau bagaimanapun aku sama sekali tidak memilikinya.
Anak kalangan bawah sepertiku tidak pernah mendapat uang jajan selain mencarinya sendirian dengan pekerjaan.

Seperti itulah aku hidup, sangat menyedihkan dan mengenaskan.

"Kau tuli, huh?" Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat pada kepalaku. Aku memejamkan mata merasakan rasa sakit itu menjalar. "Paling tidak katakan sesuatu."

Aku menahan tangannya tanpa tenaga setelah mendapat pukulan ke lima. "Aku tidak memilikinya," ungkapku mencicit, entah mendapat keberanian dari mana.

Bukannya membebaskan, orang itu malah mengambil satu langkah mendekat setelah menendang seluruh barang-barangku menjauh.

Tangannya terulur menyentuh dinding di samping tubuhku, mimiknya terlihat makin mengerikan, dan aku tidak punya pilihan lain selain cukup diam tanpa melakukan perlawanan.

Enigma, TicWhere stories live. Discover now