Kesepian, kehilangan, lalu menciptakan kerinduan menggunung yang siap memecahkan isinya.
Seperti itu perasaan Sintia Renata setelah dua bulan suaminya tak kunjung menghubungi atau sekedar memberi kabar, apalagi menemuinya.
Demi mengobati rasa rindunya Sintia mengumpulkan keberaniannya untuk menghubungi seseorang yang jelas bersama suami yang ia rindukan.
Suami yang mungkin saja tak lagi merindukan seorang Sintia Renata.
***
"Abang,ada telepon dari Sintia" Fika istri kedua Adit menyerahkan gawainya pada suaminya.
"Kenapa?" Tanya Adit.
"Entahlah" Fika berlalu menuju kamarnya setelah menyerahkan gawainya pada suaminya.
Aditia menerima gawai itu sambil menikmati sarapan pagi di rumah barunya. Bersama Fika, istri yang tengah mengandung calon anaknya.
Lalu Aditia menatap layar smartphone,melihat nomor Sintia Renata di sana.
"Ada apa Sintia?" Cecar Adit dengan malas pada istri pertamanya.
"Assalamualaikum suamiku sayang" jangan lupa salamnya Sintia mengingatkan mendengar suara suaminya yang berat.
"walaikumsalam, langsung saja Sintia ada apa?"
"Abang, adek rindu"
" Sintia, jangan kekanakan. Kamu tahu adek Fika dan Abang masih pengantin baru dan sekarang Fika hamil dan lebih memerlukan perhatianku".
"Bang, dua bulan bukan waktu yang sebentar wajar kalau adek rindu. Abang juga tidak pernah angkat telepon adek".
" Itu resiko Sintia".
Sintia kemudian terdiam, menyelami apa yang suaminya katakan. Itu memang benar, resiko karena dia memilih poligami daripada diceraikan suaminya.
" Abang, tidak bisakah adek
merindukan Abang lagi?"" Sintia, keadaan sudah berbeda. Pahamilah tentang harapan abang"
"Adek sangat memahami,bang"
" baguslah, adek kan juga pernah merasa jadi pengantin baru. Kita sudah melewatinya lima tahun yang lalu. Jadi sekarang biarkan adek Fika menikmati manisnya menjadi pengantin baru."
" Tidak kah Abang mengerti perasaan adek" lirih Sintia
" Jangan mulai lagi Sintia, kau harus mengerti perasaan Adek Fika. Dia sedang mengandung, jadi kau harus mengalah."suara Aditia sedikit meninggi.
Keheningan pun terjadi lagi, dengan sadarnya Aditia selalu mengucapkan kata-kata yang selalu menyakiti hati Sintia istri pertamanya, istri yang lima tahun mendampinginya. Aditia sengaja melakukannya, agar Sintia mau berpisah darinya.
Bagaimanapun sebagai laki-laki Aditia merasa belum mampu untuk poligami. Jadi Aditia lebih merelakan wanita yang di cintainya itu untuk mencari kebahagiaannya sendiri setelah ia sakiti.
Namun Sintia selalu menolak untuk diceraikan, Sintia memilih poligami yang di ajukan Aditia untuk mewujudkan harapannya memiliki keturunan setelah lima tahun pernikahannya yang tak kunjung diberi momongan.
" Aku sudah mengalah, Bang." suara Sintia lemah.
" Bukan hanya harus mengalah sintia, kau juga harus mengerti bahwa aku tak ada waktu untukmu lagi". Sergah Aditia.
Mendengar ucapan Aditia dengan sarkastis tak terasa air mata luruh juga dari pipi mulus milik Sintia. Dalam hatinya bertanya , apakah harus sesakit ini mencintai?.
" Baiklah bang, adek mengerti. Tapi aku punya satu permintaan".
"Apalagi". Sergah Aditia.
" Barikan waktumu sehari saja untukku, setelah itu adek tidak akan mengganggu waktu Abang lagi"
" Baiklah, tapi setelah itu Abang ingin kita pisah dek" kata-kata bagai halilintar itu lolos dari mulut Aditia.
" Ok". Jawaban yang sangat santai dari Sintia.
"Abang akan datang besok"
" Tapi adek mau kita seperti pengantin baru, setelah itu kita pisah bang".
"Ok"
"Assalamualaikum"
"Walaikumsalam"
Tut Tut Tut
***
Sintia yang sedari tadi duduk meringkuk di pojok ranjang, meraung sejadi - jadinya airmata yang lama terbendung akhirnya tumpah dengan sendiri juga.
Entah menahan gejolak apa yang berkemelut di hatinya.
Ada rasa yang saling menyerang, rasa bahagia mendengar suara suaminya seakan rindu selama dua bulan ini sedikit terobati. Perasaan euforia karena besok suaminya akan menghabiskan waktu sehari dengan Sintia. Tapi perasaan sakit muncul, karena setelah itu Sintia harus berpisah dari suaminya.
Apakah Sintia mampu melewati harinya tanpa status sebagai istri dari Aditia.
Ah, pikiran Sintia melayang entah kemana lalu terhenti pada satu harapan.
Biarlah setelah ini Sintia akan memohon pada Aditia untuk tidak menceraikannya, tak apa jika Aditia tak pernah menemuinya asal statusnya tetap menjadi istri dari Aditia. Dengan begitu Sintia tetap bisa mencintai suaminya secara halal.
Cinta Sintia begitu sempurna, tapi dia bukan wanita sempurna di mata suaminya juga keluarga besar Aditia Lubis, sebab Sintia belum juga di beri kesempatan untuk memiliki anak sebagai generasi penerus keluarga Lubis selama lima tahun pernikahannya.
Selama lima tahun pernikahan Sintia dengan Aditia banyak hal yang telah mereka lalui, termasuk ikhtiar untuk memiliki keturunan.
Dari medis hingga non medis segala cara sudah mereka tempuh namun Tuhan belum memberikan kepercayaan itu. Karena Tuhan selalu punya rencana sempurna untuk hambanya.
Tuhan selalu memberi apa yang hambaNya inginkan pada waktu yang tepat dengan keihklasan dan kesabaran bukan pada keinginan hambaNya yang sebatas obsesi.
👉Sangat mengharap kritik dan saran demi perbaikan selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta,Wanita Tak Sempurna
RomanceKeinginan Aditia Lubis untuk memiliki generasi penerus melibatkan dia pada pernikahan poligami. Meski dia sudah yakin dari awal tak akan mampu bersifat adil. Namun, Sintia istri pertamanya menolak untuk diceraikan dan memilih poligami dengan alasan...