10. P D K T

303 26 14
                                    

"Anisa dekat ya sama anak baru itu?" Tanyaku pada Anggun.

"Entah. Tapi aneh ya? Tiba-tiba bisa dekat begitu."

"Iya kan? Kemarin-kemarin kayaknya juga biasa aja."

"Iya. Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu jadi ngotot gitu ngomongnya?"

Sialan. Kelihatan banget ya memang?

"Enggak, biasa aja. Aku cuman kaget aja tiba-tiba Anisa jadi dekat sama anak itu. Namanya siapa?" Ini kesempatanku untuk mengetahui namanya.

"Namanya Arkan."

Oh...

Aku harus mengingatnya di dalam otakku. Namanya bagus juga.

Bisik-bisik tetangga bersama Anggun masih berlanjut. Membicarakan tentang kedekatan Anisa dengan Arkan. Tadi sekilas aku merasa Arkan menatapku sebelum keluar dari kelas kami. Atau hanya perasaanku saja? Mungkin ia tidak sengaja menoleh ke arahku. Tapi rasanya seperti nyata.

Sepertinya Kakak kelas itu memang sedang PDKT dengan Anisa. Memang siapa yang mau memberikan minuman seharga lebih dari lima ribu untuk seseorang yang bahkan tidak dikenalinya, aku pun tidak sudi, lebih baik kuminum sendiri. Kecuali memang untuk orang yang benar-benar tidak mampu. Tetapi ini Anisa. Dia mampu kok, jangankan minuman seharga lebih dari lima ribu, bahkan ia bisa jika ingin membeli mie ayam yang harganya tidak masuk akal di kantin sekolah.

Kurasa Arkan memang sedang menyukai Anisa. Ya sudahlah, kalau cowok itu sukanya sama Anisa memang aku bisa apa?

Beruntung sekali dia, ditaksir cowok ganteng. Untuk pengalaman cinta pertama lagi. Sialan.

Kenapa dengan aku ini.

"Kalian lagi ngomongin apa sih?"

Otomatis aku dan Anggun menoleh ke arah Anisa dan memasang tampang ngeri. Pasalnya Anisa sedang menghadap ke arah kami, sambil mengangkat alis secara berlebihan. Mengerikan.

"Wajahmu ki loh Nis, rak nguati." Anisa langsung ngakak.

Aku bukan lahir di Semarang memang, tapi aku sudah lama tinggal di sini setelah Ibu meninggal. Tetapi bukan berarti aku bisa Bahasa Jawa. Belum terbiasa. Walaupun aku tidak sepenuhnya tahu apa yang dibicarakan Anggun, tapi aku sedikit tahu kok maksudnya.

"Lagi ngomongin apa sih ? Kok bisik-bisik?"

Aku dan Anggung saling melirik. Kami sedang berdiskusi lewat batin. Apakah kami ingin menanyakan tentang kedekatannya dengan Arkan secara langsung atau memilih untuk berbohong saja.

"Kamu lagi dekat sama Arkan ya?" Dan akhirnya Anggun memilih untuk jujur. Jantungku mulai berdebar sekarang menunggu jawaban Anisa.

"Enggak. Gosip dari mana tuh."

Aku mengerutkan alis. Ekspresi Anisa terlihat janggal sekali. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Mengapa aku bisa tahu?

Karena kami sudah hampir dua tahun berteman. Aku sudah hafal dengan kebiasaan Anisa. Termasuk kelakuannya saat sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu. Anggun juga begitu.

"Yakin?"

"Iya," ucap Anisa ngotot. "Dengar dari mana sih? Aku dekat sama anak kayak Arkan. Bisa-bisa dikeroyok sama fans-nya karena sudah berani dekat-dekat sama idolanya."

"Tapi Akhir-akhir ini aku lihat kamu bareng terus sama doi tuh." Anisa langsung menoleh ke arahku. Kulihat bibirnya sedikit menyeringai.

"Oh... Dia itu lagi minta bantuan sama aku, buat deketin dia sama temanku."

Aku tahu Anisa sedang berbohong.

*

Diam Diam Suka ✔Onde as histórias ganham vida. Descobre agora