11. P e r p u s t a k a a n

311 23 4
                                    

Sepertinya aku memang harus segera melupakan perasaanku untuk Arkan. Aku mulai sebal sekarang melihat dia selalu mendekati Anisa. Entah itu di kantin, atau saat bertemu di koridor, atau saat tidak sengaja pas-pasan di toilet. Ruang toilet perempuan dengan laki-laki itu bersebelahan.

Kenapa pas banget gitu timingnya, saat Anisa bersamaku. Sebel!

Apalagi saat ini. Arkan sedang terang-terangan memperlihatkan kedekatannya dengan Anisa di depan mataku.

"Makasih ya Mas coklatnya. Gigiku sampai sakit loh makan coklat kebanyakan." Ucap Anisa dengan nada mendayu-dayu. Dasar kecentilan.

Kenapa tidak sekalian bolong semua gigimu!

"Sama-sama, aku juga terimakasih sudah mau bantu."

Aku melihat Arkan melirikku, lalu tersenyum. Untuk apa coba?

"Cintya mau ikut Anisa ke perpustakaan?"

"Iya." Aku nggak tahu kenapa nada bicaraku jadi jutek begini. Aku memang sebal dengan mereka. Tapi dengan tidak tahu malunya, aku malah memperlihatkan kebeteanku di depan mereka. Gengsi lah. Ini nih yang namanya sifat tercela. Memang, terkadang watak itu tidak bisa berbohong.

"Santai aja dong mukanya." Anisa tertawa sambil menyenggol pundakku dengan pundaknya dengan keras. Walaupun tubuh Anisa itu mungil, tetapi tenaganya melebihi tenaga wonder woman. Pundakku sampai nyut-nyutan rasanya.

"Aku boleh bareng nggak?"

Aku dan Anisa saling melirik. Aku sudah memperingatkan Anisa untuk tidak mengajaknya ke perpustakaan bersama melalui mataku. Tapi memang dasar, kepekaan Anisa benar-benar minim sekali.

"Boleh kok Mas, yuk." Kami mulai berjalan menuju perpustakaan bersama.

Sebenarnya aku hanya ingin mengerjakan PR Matematika. Karena materi terkomplit hanya ada di buku paket. Jadilah aku harus meminjamnya di perpustakaan. Karena aku malas banget di kelas yang ramainya seperti pasar. Aku berniat untuk mencoba mengerjakan di perpustakaan saja. Siapa tahu, tiba-tiba aku dapat wangsit di sana dan bisa mengerjakan dengan mudah. Jadi aku tidak perlu mencontek teman lagi.

Ngomong-ngomong, aku masih berusaha untuk jadi pintar.

Saat sudah sampai di perpustakaan, aku mulai memisahkan diri dari Anisa dan Arkan. Lama-lama nggak enak juga berada di antara mereka yang lagi kasmaran. Aku sudah seperti obat nyamuk, atau seperti orang ke tiga yang sedang sial, karena diacuhkan begitu saja oleh mereka.

Benar-benar sial!

Berjalan menuju rak khusus buku paket. Lalu kuambil paket Matematika secara acak. Aku melihat-lihat isinya terlebih dahulu sebelum kuletakkan lagi di tempat semula. Seketika kepalaku langsung pusing setelah melihat deretan angka yang tidak aku pahami ini. Gini amat sih otakku sangking bodohnya. Kulihat sekeliling perpustakaan yang tidak terlalu ramai Siang ini. Jelaslah, mana pernah ramai, paling cuman segelintir orang yang datang, atau, cuman yang numpang bolos. miris.

Sepertinya aku harus segera belajar, sebelum niat baikku ini musnah karena malas. Aku berbalik menuju salah satu meja yang ada di perpus setelah kuambil paket Matematika, tetapi mataku sudah terlanjut menangkap sesuatu yang membuat kepalaku terasa panas. Seketika kakiku tidak bisa digerakkan. Aku megap-megap melihat sepasang sejoli di sudut ruangan dekat rak khusus buku paket yang memang sepi. Mereka sedang berdiri berhimpitan dan saling berpelukan.

Mereka lagi ngapain?

Aku tidak mau kepergok mereka karena sudah melihat adegan yang bikin sakit mata itu, aku langsung berbalik sebelum ketahuan, tapi sialnya aku malah terjatuh karena terbelit dengan kakiku sendiri.

Ingin bunuh diri saja rasanya.

"Kamu nggak papa?"

Kudongakkan kepalaku untuk mengetahui siapa yang sudah melihat tingkah konyolku ini. Mataku langsung terbelalak, melihat pemuda itu.

Aku ketahuan ya?

Kulihat ia sedikit menyeringai. Pasti ia sudah melihatku tengah memergoki ciumannya di perpustakaan.

Mampus!

*

Diam Diam Suka ✔Where stories live. Discover now