Bab 2

123 14 0
                                    

Tentang Senja

Seperti rencana yang tengah dipikirkan semalam, Sandi berkeinginan kuat untuk membuat Maria kembali ceria seperti sedia kala, tertawa lepas bersama dirinya. Pagi-pagi sekali ia bangun untuk segera menyelesaikan pekerjaannya sehari-hari supaya setelahnya ia dapat membuat kejutan untuk Maria. Satu persatu pekerjaan itu dapat dengan cepat ia selesaikan. Saat ini tangannya sangat terampil memainkan mesin jahit menyelesaikan sisa pesanan jahitan. Selain sopir ia juga mempunyai keterampilan menjahit. Itulah yang ia kerjakan selama ini untuk menafkahi keluarga. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan itu semua. Setengah hari gantungan baju-baju untuk deadline hari ini sudah siap untuk diambil.

Kakinya kini melangkah menuju ke samping rumah mengambil sepeda onta peninggalan bapaknya sewaktu dulu. Ia tampak tersenyum melihat sepeda itu masih bagus, ia membayangkan kenangan-kenangan indah masa lalu, dan kini akan ia lakukan untuk Maria. Ia turunkan sepeda onta yang sudah tua berkarat, mengamati apa saja yang perlu diperbaiki.

Empat jam ia mencoba servis memperbaiki semuanya sendiri. Keahlian servis itu Sandi dapatkan dari mendiang bapaknya. Tanpa kesulitan ia dapat menyelesaikan semuanya.

Sandi menengokkan kepala ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan Maria. Di depan rumah Maria duduk dengan ditemani Teddy bonekanya.

"Maria, mandi yuk, ikut Ayah," ajak Sandi setengah membujuk. Maria mengangguk dan mengikuti Sandi.

Sebagai orang tua tunggal Sandi sangat pandai mengurus Maria. Tak hanya menjadi seorang Ayah, Sandi juga merangkap menjadi seorang Mama untuk Maria. Semua pekerjaan rumah ia lakukan sendiri tanpa mengeluh.

Melewati jalan setapak Sandi membonceng Maria bersepeda menikmati indahnya senja di antara hijaunya sawah. di tempat itu dulunya banyak anak bermain layang-layang sebelum handphone membuat mereka malas. Sandi membiarkan pandangannya bergerilya mengamati sekitar, memang benar tak banyak anak-anak yang bermain layang-layang di sana, hanya ada sekitar satu atau dua orang yang tergolong anak berasal dari keluarga sederhana.

Mata Sandi terus memandang berkeliling, memandang sawah yang membentang luas. Saat ini sedang awal musim kemarau, hanya tanaman jagung yang menghiasi sawah mereka. Sebagian petani malah membiarkan sawahnya ditumbuhi rumput ilalang untuk pakan binatang ternak mereka.

Maria sudah menghilang sejak tadi menjauh dari Sandi dan bergabung dengan anak-anak yang tengah bermain layang-layang. Maria anak pintar dan pemberani meski bukan darah dagingnya akan tetapi Maria mengingatkan Sandi pada masa kecilnya dahulu yang juga pintar dan pemberani. Sandi melihat Maria sedikit ceria meski Maria hanya sekedar melihat anak-anak yang umurnya di atasnnya bermain layang-layang. Setidaknya ada hiburan untuk Maria supaya tidak lagi murung teringat mamanya.

Di gubuk kecil tempat Sandi menunggu Maria. Ia menikmati semilir angin menyibak rambutnya yang keriting. Ia kembali mengedarkan pandangannya mengamati sekitar sembari menghirup udara desa yang masih asri. Anak-anak yang bermain layang-layang mengingatkan ia pada suatu kenangan. Tentang persahabatan antara ia dan Sumini. Saat itu mereka sama-sama berusia sembilan tahun.

Sumini selalu bersama Sandi. Di mana ada Sumini di situlah Sandi juga berada. Mulai dari bersekolah hingga bermain mereka bersama. Hingga beranjak dewasa mereka masih bersama. Sumini adalah gadis yang cantik meski ia sederhana. Banyak lelaki desa maupun di sekolah yang kagum padanya. Namun tak satu pun ada yang menarik di hatinya.

Suatu sore di gubuk ini mereka bercengkrama menikmati senja berdua.

"Sandi, maukah kau berjanji kepadaku?" Mata Sumini menatap Sandi tajam. Ada harapan yang nyata di antara kedua bola matanya.

"Janji apa, Sum?" Memandangi wajah Sumini yang tengah menunggu jawaban.

"Berjanjilah untuk tidak meninggalkanku." Embusan panjang napas Sumini terdengar jelas.

"Bukannya kita udah bersahabat lama? Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, kita tetap akan menjadi sahabat."

"Bukan itu Sandi tapi aku ... sudahlah lupakan," kata Sumini yang ragu untuk bicara kepada Sandi.

Sandi masih bingung dengan apa yang dimaksudkan Sumini terhadapnya. Lama ia berpikir untuk mengerti, namun nyatanya tak sedikitpun ia menemukan jawaban atas pernyataan Sumini.

"Ayah ...." Maria kini telah berada di sampingnya. Menyadarkan Sandi atas semua lamunannya. Sandi memandang sekeliling. Anak-anak tadi telah menghilang, mungkin sudah pulang karena senja hampir meredup berganti malam.

"Sudah hampir magrib, mari kita pulang, Nak." Sandi tersenyum disusul anggukan Maria.

Sesampainya di rumah Sandi masih saja penasaran tentang apa maksud dari perkataan Sumini tempo lalu. Pikirannya kembali melayang. Di kala Sandi akan pergi ke kota untuk mengadu nasib, Sumini menitipkan pesan bahwa ia akan selalu menunggunya kembali. Dia mengucapkannya dengan mata yang sembab. Entah apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Sumini baru saja menangis, Sandi tahu itu.

Selama Sandi bekerja di Jakarta, surat-surat Sumini tak pernah berhenti diterimanya, meskipun Sandi jarang membalasnya. Tahukah kalian? Sandi tak pernah membalas bukan karena lupa namun karena ia sibuk bekerja dan ia tahu Sumini pasti mengerti semua itu.

Waktu terus saja berjalan hingga sebuah kejadian terjadi Sandi harus menikah dengan anak majikan, meski ia tak ada rasa sedikit pun dengannya. Semenjak itu lah Sumini tak lagi mengirim surat kepada Sandi. Berbagai pertanyaan menganak di benak Sandi, ada firasat buruk di hati Sandi tentang Sumini. Semua ini dapat ia rasakan karena mereka telah lama bersahabat.

Seminggu kemudian Sandi membawa istrinya pulang ke rumah. Suatu kejadian yang ia dengar dari tetangga  begitu mengagetkan Sandi. Tentang suatu kabar kematian Sumini gantung diri di pohon belakang rumahnya seminggu yang lalu, itu berarti tepat di hari berlangsungnya pernikahan Sandi dan Margaretha. Sandi tak pernah mengerti atas dasar apa Sumini melakukan itu. Namun satu yang ia ingat ketika Sumini berkata, "aku akan selalu menunggumu."

Kata-kata Sumini lima tahun yang lalu berusaha Sandi mencernanya. Apakah Sumini jatuh hati padanya? Apakah ia sebagai lelaki ia tak pernah mengerti? Ataukah ia telah mematahkan harapan seorang gadis yang mencintainya? Sandi kembali mengembuskan napas panjang. Tak ada gunanya disesali. Toh, semuanya sudah terjadi dan kini ia harus fokus pada satu tujuan yaitu kebahagiaan Maria.

"Selamat jalan Sumini, semoga engkau bahagia di sana." Sandi mengucapkan itu dengan tersenyum.

KunoWhere stories live. Discover now