Bab 10

35 5 0
                                    

Dilema

Seberapa pun hubungan Mama dan anak terpisah jarak karena keegoisan dan materi, seberapa pun rasa benci yang tercipta di antara keduanya, itu tak akan pernah merubah ikatan batin yang sudah tercipta sejak mereka di takdirkan untuk bersama yaitu ketika Margaretha mengandung. Dari sanalah ikatan batin itu mulai ada. Mungkin Maria dapat berucap benci terhadap Margaretha namun tidak dengan hatinya. Begitu pun sama halnya dengan apa yang dirasakan Margaretha selama ini.

Maria menutup pintu kamar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Di sana Maria menenggelamkan kepalanya di bawah bantal sebentar lalu menangis. Di saat seperti ini, ia mencoba untuk mengingat kejadian yang membuatnya dapat membenci mamanya. Namun itu semua gagal, hal itu berbanding terbalik malah membuatnya tambah merasa kangen ingin memeluk Mama. Semua kejadian-kejadian hari ini membuat ia teringat sosok yang telah meninggalkan ia dan ayahnya.

Maria mengusap air matanya perlahan, mencoba duduk dan menyandarkan kepalanya di tembok. Dinner tadi seharusnya menjadi dinner yang indah baginya. Bukan malah menjadi dinner yang penuh isak tangis seperti saat ini.

"Mengapa gue masih kangen sama Mama? Sedangkan Mama mungkin sudah melupakan gue." Maria mengatakan itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Harusnya gue benci sama Mama yang udah ninggalin gue demi laki-laki sialan itu."

"Tapi gue kangen sama Mama, andai saja Mama di sini gue pengen memeluknya."

"Enggak buat apa gue kangen sama orang nggak punya hati."

Maria meracau tak jelas. Perasaannya kini dilema, ingin rasanya ia membenci Margaretha namun tak bisa dipungkiri jauh di dalam lubuk hatinya ada rasa rindu yang sangat berat terhadap Margaretha.

***

"Lo kenapa? Semalam lo nangis?" Sabrina mengamati Maria saat pelajaran olahraga. Memang pada saat seperti ini rambut Maria dikuncir satu, menampakkan wajahnya yang sayu dengan mata yang sembab sangat jelas terlihat.

"Enggak kok, Bi." Mencoba melepaskan tangan Sabrina yang memegang pundaknya.

"Ada apa? Mata kamu bengkak gitu," tanya Sabrina mengamati mata Maria terlihat sembab habis menangis.

Lagi-lagi Maria menggelengkan kepalanya dan berusaha tersenyum. "Enggak ada apa-apa kok."

Maria melangkahkan kakinya menjauhi Sabrina, menghindar dari makhluk yang super duper kepo seperti Sabrina. Namun setelah mendapat beberapa langkah tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke belakang. Terjerembab di tanah.

"Maria!" Sabrina berlari ke arah Maria.

Semua mata tertuju pada gadis yang tergeletak di lapangan basket. Hanya melihat. Tak ada yang peduli sama Maria, karena bagi mereka Maria adalah orang miskin yang menjijikkan.

"Kalian semua kenapa diam! Mau kalian semua aku ke ..." Sebelum Sabrina menyelesaikan pernyataannya, semua siswa berlarian menolong Maria. Membawanya ke UKS. Mereka takut jika di keluarkan dari sekolah ini, mengingat Ayah Sabrina adalah pemilik sekolah ini.

Maria duduk di samping dokter yang kini tengah menangani Maria. Di sekolah elite seperti ini memang ada dokter khusus yang bertugas menangani para siswa yang sakit.

"Saya ada di mana?" Maria memandang sekeliling setelah siuman.

"Lo ada di UKS," jawab Sabrina singkat sambil mengamati dokter yang memasang selang infus di tangan Maria.

"Gue mau ke kelas, Bi." Sorot matanya memandang Sabrina, memohon kepada sahabatnya untuk diantar ke kelas.

"Enggak Maria, lo harus di sini, lo harus istirahat." Dengan sabar Sabrina membujuk sahabatnya.

"Dok, Maria sebenernya kenapa?" Pandangan Sabrina beralih ke dokter setelah dokter selesai memasang infus.

"Nggak apa-apa, Maria hanya tertekan saja, dan juga tidak tidur semalaman, ia butuh istirahat."

"Tuh dengerin." Bibir Sabrina sedikit monyong ke arah Sabrina.

Maria hanya mengangguk lemas, memandang dokter dan Sabrina secara bergantian.

Perhatian, silakan untuk semua siswa masuk ke dalam kelasnya masing-masing, kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai kembali.

Suara itu menghentikan semua aktivitas siswa yang sedang asyik di luar kelas maupun di kantin. Membuat mereka berlarian menuju kelasnya masing-masing. Karena jika ada ketahuan siswa yang masih di luar saat jam pelajaran berlangsung maka sanksi yang tegas akan mereka dapatkan.

"Maria, gue ke kelas dulu ya, nanti jam istirahat kedua gue ke sini lagi."

Dengan lemas Maria mengangguk. Memandang Sabrina yang telah menghilang dari pintu UKS. Maria sangat menyayangkan hari ini. Mengapa ia harus terbaring lemah di sini? Itu berarti akan banyak pelajaran yang akan ia tinggalkan hari ini. Maria mengembuskan napasnya perlahan. Di sekolah elite ini memang ada dua jam istirahat. Tersebab sekolah di sini jam pulangnya sampai sore. Dan ia kini hanya membuang waktu sampai sore dengan berbaring di sini. Padahal prinsip Maria jika waktu itu adalah uang. Ia sangat berharga untuk terbuang.

Beberapa kali Maria mencoba memejamkan matanya namun selalu gagal. Mengetuk-ngetuk jari pada tempat tidur dan bersenandung kecil untuk menghilangkan rasa sepi, karena ia sendiri di sini. Melewati waktu sepuluh menit terasa dua jam baginya.

Maria melihat jam di tangannya masih menunjukkan pukul sebelas, sedangkan istirahat kedua kurang lebih pukul dua belas lebih, itu pun mereka harus beribadah dahulu.

"Ini kenapa ada selang infus yang menancap di tangan gue, seandainya tidak ada gue sudah berlari masuk ke kelas." Batinnya jengkel melihat selang infus menancap di tangannya.

***

Maria terbangun ketika ada seseorang yang datang ke ruangan. Dengan mengerjap-ngerjapkan matanya memandang ke arah seseorang yang duduk di sampingnya.

"Bagaimana keadaanmu, Maria?" tanya Alex sambil meneliti keadaan Maria.

"Aku tidak apa-apa kok," jawab Maria datar.

"Apa yang kamu rasakan sekarang?" Alex bertanya kembali memastikan keadaan Maria.

"Sudah baikan," jawab Maria tersenyum.

Pintu UKS kembali terbuka ada langkah ringan seseorang di sana. Secara bersamaan mata Alex dan Maria memandang ke arah pintu memastikan siapa yang datang. Seorang gadis berjalan mendekat ke ruangan di mana Maria berada. Mata gadis itu kaget ketika Maria tak lagi sendiri di sana. Ada Alex di sampingnya. Dengan canggung ia tetap mendekat.

"Gimana keadaan lo sekarang," Sabrina bertanya setelah berada di samping ranjang  Maria.

"Sudah baikan kok, Bi." Maria meraih tangan Sabrina dan meletakkan ke keningnya menunjukkan bahwa suhunya sudah mulai turun.

"Ya sudah kalau begitu aku tinggal dulu ya, lapar mau nyari makan." Sabrina mencari alasan untuk keluar dari ruang UKS karena ada Alex di sana.

Meski kecewa Maria menganggukkan kepala, membiarkan Sabrina untuk keluar dari ruangan itu.

Sepanjang perjalanan Sabrina mencoba memahami apa yang di rasakan saat ini. Ada yang aneh pada dirinya ketika melihat Alex dan Maria dekat. Ada rasa tak rela jika harus memandang mereka berlama-lama bersama. Apakah ia juga jatuh cinta dengan Alex? Apakah ia cemburu melihat Alex bersama Maria? Entahlah yang jelas untuk saat ini ia ingin menghindar dari mereka berdua. Itulah sebabnya ia memilih keluar dari ruangan itu.

KunoWhere stories live. Discover now