Enam

277 30 0
                                    

Aku duduk di halaman depan villa. Udara siang ini lumayan sejuk. Suhu tubuhku sudah turun dan kini aku bisa beraktivitas dengan normal kembali.

Kata Kak Tiani aku cuma kecapekan, dan sekarang sudah sembuh. Tapi aku memang tak pernah percaya penuh pada kakak perempuanku itu. Tetapi, entah mengapa ia menyuruh kami pulang esok hari.

Masih ada waktu untuk menghabiskan liburan kami disini selama satu minggu. Aku agak kecewa padanya, tetapi aku tetap menghormati keputusannya.

Rencana kami sore ini adalah bermain di sungai belakang yang airnya cukup jernih.

Bagas dan Rio sempat bercerita bahwa saat pukul 3 pagi, mereka mendengar suara teriakan dari arah sungai. Tetapi kami tidak percaya, termasuk aku.

Dan kini aku terduduk di kursi teras menatap pohon-pohon yang menjulang tinggi. Tiba-tiba Rio datang kepadaku. Tiba-tiba ia mengelus rambutku yang panjang.

Aku menatapnya dan ia balas menatapku dengan tatapan sedih yang membuatku kebingungan.

"Kenapa?" tanyaku pelan.

"Besok kita pulang gapapa kan say?"

"Gapapa kok. Ada apa?"

"Aku cuma mau nanya gitu aja kok. Kamu jangan sakit lagi ya."aku mengangguk dengan senyuman yang lebar.

Dari arah dalam, Mbok Rah, Najwa, Maura, dan Kevin datang. Saat Mbok Rah menaruh sepiring pisang goreng, mereka semua langsung ribut tak terkecuali aku dan Rio.

Sepiring pisang goreng hangat tandas dari piring berwarna putih itu. Mbok Rah yang duduk di sebelah Maura terkekeh.

"Memangnya enak banget ya pisang gorengnya?" tanya Mbok Rah.

"Bangetttttt mbokk... " jawab Kevin dengan mulut penuh.

"Eh tapi kasian si Ica ama Bagas ga kebagian nih," ucapku.

"Kalo Bagas sih masih molor, tapi Ica gatau kemana dari tadi jam 6," jawab Najwa.

"Nah loh kemana dah si Ica," tanya Maura. Kami semua menggelengkan kepala.

"Kalau begitu, mbok bikinin pisangnya lagi ya. Nanti biar mbok sekalian bangunin Bagas deh." Mbok Rah kemudian berlalu sambil membawa piring yang telah kosong.

"Eh Nat," Najwa tiba-tiba memanggilku.

"Ada apa Wa?"

"Buku diary itu dibawa Kak Tiani," aku langsung mengerutkan dahiku.

"Kak Tia pulang?"

"Sebelum kamu bangun dia dah pulang Nat. Emang apaan sih isi buku diarynya? Sampe bikin lo tiba-tiba gini?" tanya Maura.

"Iya gue juga penasaran," Kevin menimpali disertai anggukan Rio. Tanpa aba-aba, Najwa mulai bercerita.

"Jadi gini ya manteman,"

•••••

"Buka aja. Lo juga penasaran kan?"
tawar Najwa.

Aku menatap Najwa dengan penuh tanda tanya. Aku penasaran juga apa isi dari buku ini. Tapi bukannya tidak sopan kalau membuka buku orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya? Apalagi kita tidak tahu sia yang memiliki buku ini.

"Tapi emangnya gapapa gitu kita buka buku ini?"

"Ya mungkin buku ini punya Om Agil atau anaknya atau siapanya kek(?)" jawab Najwa asal.

"Buka jangan ya? Tapi sampul buku ginian udah jarang di jaman sekarang mah," aku mulai bimbang dengan tawaran Najwa.

"Yaudah yuk buka aja, ga apa-apa kok. Ini cuma buku, ga ada yang perlu lo takutin. Lagian kan kita ramean," bujuk Najwa lagi dan aku semakin mantap untuk membuka buku tersebut.

Pukul 3 PagiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ