DCKD 10

8.9K 366 2
                                    

Zihro tersenyum getir. Tidak mau ikut campur meski hal ini menyangkut sahabatnya. Karena bagi Zihro, sudah cukup lara hati semalam yang belum kunjung sembuh dan tak terkira lagi rasa sakit yang akan ia rasa kelak ketika ia harus menyaksikan mereka mengikat janji suci di hadapan Allah. Lalu orang-orang berdatangan mendoakan sambil menyalami mereka agar menjadi keluarga yang Sakinah Mawadah warahmah. Tak lupa, barang kali ada yang berdoa supaya mereka cepat-cepat diberi momongan.

Sejenak Zihro pejamkan mata seraya menghirup napas dalam-dalam lalu hatinya berkata, "Allah, sanggupkah Aku menyaksikan mereka bahagia?"

Sedangkan Irfan.

Mendengar pertanyaan perihal akad, ia hanya tersenyum kecut menanggapinya. Ini bukanlah khitbah yang didasari dengan cinta! Lebih pantasnya adalah sebuah ketidaksengajaan atau ksalah pahaman, mungkin?

Sementara waktu biarlah teman-teman Irfan merasa dibuat penasaran. Toh ia juga belum tau pasti kapan akadnya dengan gadis itu akan dilaksanakan?

Justru yang Irfan sibukan kini adalah soal pekerjaan.
Ya, semalam Ayah calon istrinya mempertanyakan hal itu. Mahar, kehidupan setelah mereka menikah dan kehidupan berikutnya untuk berdua. Ya, untuk berdua.

Di luar alam bawah sadar, jari jemari Irfan membimbing penanya di atas kertas. Terbentuklah tulisan, 'Aku dan calon istriku'. Seulas senyum mengembang di bibirnya.
Lalu ia bubihi tulisan 'Insyaa Allah, Jika Engkau Izinkan.'

Meski Ayah Fifah tidak menanyakan soal mahar dan kawan-kawannya, justru Irfan mikirnya ke sana. Bukankah kelak anak-anak mereka juga butuh kehidupan yang layak?

"A-apa? Anak-anak? Barusan aku bilang anak-anak?" kedua bola mata Irfan menerawang ke udara. Terlintas tangisan bayi-bayi mungil yang meramaikan suasana rumah mereka kelak. Terlintas pula kesibukan mereka ketika mengurus bayi ini, bayi itu, bayi menangis, bayi yang pipis ....

"Astaghfirullahal'adziim ... Ya Allah ... Kenapa aku bisa mikir sampai sejauh itu?" gumamnya.

Dan entah kenapa tiba-tiba bayangan sang Ayah melintas di benak Irfan. Ia kembali diingatkan kepada keinginan Ayahnya dan juga ... Salsa.

"Apa Aku harus kembali ke rumah dan menuruti perintah Ayah?" pikirnya.

Toh kalau ia menuruti perintah Ayahnya, nanti yang ada malah tidak boleh menikah dengan gadis yang semalam dilamarnya. Bukankah ketika Irfan mengabari Citra waktu itu terdengar suara Ayah dari sebrang telepon? Iya ... suara Ayah. Masih sama seperti dulu. Marah-marah dan memintanya menikahi Salsa.
Sedangkan Irfan? Ia sudah janji kepada Ayah calon istrinya, bahwa ketika calon istrinya lulus, ia akan kembali untuk mengikat akad.
Janji adalah hutang. Dan hutang harus dibayar! Kalau tidak dibayar, Allah sendiri yang akan menagihnya kelak di Akhirat.
Kebayang seperti apa Allah memberi hukuman pada orang yang tidak membayar hutang?

Irfan bergidik ngeri.

Kenapa di saat ia mengingat Ayah, lantas membuatnya teringat juga kepada gadis bernama Salsa?

"Lalu ... Apa Salsa masih belum menikah sampai saat ini?" pikirnya lagi, "Kalau Salsa udah menikah, Aku pulang ke rumah, pasti Ayah nda maksa-maksa aku lagi buat nikahin Salsa. Tapi kalau Salsa belum menikah, Aku pulang ke rumah ... Duh! Bisa berabe iki urusannya!"

Irfan menghela napas. Sejak Ba'da kajian subuh tadi, ia memang tidak seperti biasanya yang sudah pergi ke pasar untuk mengisi kebutuhan dapur. Kali ini justru ia masih duduk di serambi Masjid. Sama sekali tidak terpikirkan belanjaan pasar yang harus dibelinya.

Irfan melepas peci yang sedari tadi melekat di kepalanya. Ia menggaruk kepalanya, debu-debu kecil berwarna putih beterbangan.

Ia mengerucutkan bibirnya, heran. "Perasaan baru kemarin aku shampoan. Loh kok udah ketombean?"

Dengan Cinta-Nya Kucintai DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang